aku………. terlahir karena
ridho illahi.
aku hidup lupa atau terlupa
bukan…. ini bukan mau ku
bukan ……. ini bukan salah ku
ku juga ingin maju…. ku juga
ingin pintar dan aku juga ingin trampil
walau banyak orang yang
meremehkanku
walau banyak orang yang
menertawakanku
tapi………….. aku akan tunjukan pada
mereka.
aku bisa seperti mereka..
aku bisa berkarya ..
aku bisa berprestasi dan
aku bisa mandiri
ya………… Allah berikanlah aku
kekuatan
tuk buktikan pada mereka bahwa
aku BISA….
Suci (murid SLTP YPAC Surakarta, Difabel Tuna Daksa)
Everything has its wonders, even darkness and
silence, and I learn, whatever state I may be in, therein to be content.
Helen Keller
Riuh tepuk tangan menyambut puisi
yang dibacakan Suci. Suci dan teman-temannya duduk di atas kursi roda
masing-masing, berkumpul, melingkar. Berbagi cerita tentang asa dan cita. Suci
berharap memiliki sebuah warnet kelak. Sementara Tari bercita menjadi seorang
penulis terkenal. Dan Hanik berharap memiliki sebuah butik batik. Puisi Suci
seolah mewakili harapan mereka untuk membuktikan kepada seluruh masyarakat
bahwa dengan keterbatasan yang mereka miliki pun mampu untuk mewujudkan cita-cita.
Sayang sebagai perempuan difabel, mereka belum paham jika di sekeliling mereka
berdiri kokoh tembok diskriminasi.
Purwanti (31), aktivis difabel
berkenaan penyaluran bantuan kursi roda di Cilacap mengungkapkan, “Perempuan
difabel mengalami Triple diskriminasi.
Dia terdiskriminasi sebagai perempuan, sebagai difabel, dan terdiskriminasi
karena mereka miskin. Akhirnya perempuan difabel tidak hanya
diduakan tetapi menjadi nomor sekian di mata masyarakat" Perempuan difabel tergolek tak berdaya
diantara persoalan feminisme, dan difabel. Tembok diskriminasi mengurung
kebebasannya sebagai perempuan. Statusnya sebagai difabel semakin memperburuk
keadaan.
Isu persamaan gender tampaknya
tak berdampak signifikan terhadap posisi perempuan. Perempuan tetap terkurung
dalam keterbatasan untuk berekspresi, berkarya, dan berkarier dalam masyarakat.
Perempuan cenderung menjadi korban dalam beberapa kasus seperti: kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan, perdagangan manusia hingga prostitusi.
Stereotip klasik tentang perempuan masih berkutat pada dapur, sumur, dan kasur.
Mengutip pernyataan Mansour Fikh
dalam buku Analisa Gender dan
Transformasi Sosial (2007:7-24) mengatakan bahwa hal tersebut
mengindikasikan ketidakadilan gender. Mansour menambahkan, terdapat lima macam
bentuk ketidakadilan gender, yaitu: marginalisasi, subordinasi, stereotip,
kekerasan, dan beban kerja.
Pernyataan senada juga
diungkapkan Purwanti. Ia mencontohkan
sebuah kasus pemberian hak asuh anak dalam perceraian di Indonesia. Pihak laki-laki
sebagian besar memenangkan hak asuh anak karena dianggap lebih mampu secara
finansial. “Hal tersebut mengamini stereotip negatif perempuan bahwa perempuan
tidak dapat mandiri secara ekonomi,” sembari membenahi posisi duduknya di atas
kursi roda.
Sudah selayaknya perempuan setara
dengan lelaki dalam berbagai akses sesuai dengan kesetaraan gender. “Perjuangan
di atas pola patriarki ini bergerak lamban, tapi bukan berarti tidak
menghasilkan. Hanya saja belum mencapai perubahan sistem,” ujarnya lanjut. Perjuangan
perempuan, bagi perempuan yang bergabung dalam Serikat Perempuan Tanpa Batas
(SPTB) ini adalah perjuangan perempuan untuk diakui secara bermartabat,
mendapat hak, dan kesempatan yang sama dalam masyarakat.
Perempuan
= Cacat?
Banyak pihak menyangsikan
kemampuan perempuan difabel dalam memenuhi kodratnya sebagai perempuan untuk
mengurus rumah tangga, melahirkan, mendidik anak, dan melayani suami. “Bahkan
terdapat stigma masyarakat bahwa anak yang dilahirkan dari perempuan difabel
akan difabel juga. Padahal belum tentu, karena penyebab difabel belum tentu
dari proses genetik,” ungkap Nurul Sa’adah (33), Direktur Utama Sentra Advokasi Perempuan,
Difabel, dan Anak (SAPDA) di Yogyakarta. Difabel daksa ini membuktikan bahwa
kedua putranya lahir normal meski dirinya difabel. Perempuan difabel mengalami stereotip negatif yaitu pelabelan
terhadap sesuatu dengan negatif yang berujung pada ketidakadilan.
Stereotip negatif itu pernah
dialami Nuning Suryatiningsih (46), Direktur Utama CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Life of people with
disability). Nuning mendapat komentar negatif dari seorang ibu, lawan
bicaranya di bus. “Ah, untung ya anak saya. Anak saya juga cacat kayak kamu.
Untung anak saya laki-laki jadi anak saya masih punya hak untuk milih (jodoh)
daripada kamu,” kenang ibu satu anak ini.
Perempuan bersuami non-difabel
ini pun sempat mendapat pandangan negatif dari teman-teman suami. “Perempuan
lain kan banyak, kenapa kamu memilih
perempuan seperti itu,” cerita Nuning tentang pendapat teman-teman suaminya. Begitu
pula komentar dari pihak orang tua suami, “Kok,
kamu mencari orang yang seperti itu.
Jangan-jangan nanti gak bisa
punya anak. Tapi kalau mau ya silahkan, itu pilihan kamu,” tiru ibu berjilbab
ini.
Perempuan difabel dipaksa hidup
dalam subordinasi. Subordinasi tersebut menempatkan perempuan untuk hidup dalam
kelas terendah, bahkan lebih rendah dari perempuan. Hal
tersebut dirasakan Nurul Sa’adah, ketika akan menikah dengan lelaki non-difabel. “Alah, anakku bagus-bagus kok dapet istrinya cacat. Yaudah kalau kamu ingin menikah dengan
itu, misalkan kalau kamu pingin
perempuan yang lain, ya tinggal nikah lagi aja,,” ungkap menguak
tabir kekerasan terhadap perempuan difabel ini menceritakan
subordinasi yang dilakukan mertuanya itu.Subordinasi juga terlihat di ruang
kerja. Diakui oleh Nuning, bahwa dalam pekerjaan, perempuan non-difabel pun
merasa lebih unggul ketimbang perempuan difabel. Subordinasi inilah yang akan menjadikan perempuan difabel
termarjinalkan.
Beberapa difabel, laki-laki, juga
berharap kelak pasangannya adalah non-difabel. Hal itu diperkuat pula akan
komentar orang tua difabel laki-laki yang mendiskreditkan perempuan difabel
seperti berikut, “Kamu sudah cacat, kok mencari yang cacat juga?”. Perempuan
difabel diposisikan sebagai pilihan terakhir, bahkan diharapkan untuk tidak
terpilih. Padahal mereka memiliki kemampuan yang sama dengan perempuan
non-difabel meski terhalang keterbatasan. ”Berbagai
stigma yang buruk berdampak keminderan perempuan difabel untuk menikah. Hal itu
juga dipengaruhi, minimnya pengetahuan akan kelahiran dan kesehatan reproduksi”
jawab nurul tentang dampak dari diskriminasi perempuan.
Perempuan
difabel: Terabaikan!
Perempuan difabel tidak lepas
pula dari cengkraman diskriminasi aksi, diskriminasi secara fisik. Perempuan
difabel, khususnya tuna rungu wicara, tuna netra, dan tuna grahita, paling
sering dan rentan terhadap pelecehan seksual. Keterbatasan mereka, membuat
kesempatan pelecehan seksual lebih mudah terjadi. Parahnya, pelaku dari
kejadian ini tidak lain adalah orang terdekat dari difabel.“Kalau tidak
pembinanya, keluarganya, temannya, tetangganya, dan banyak yang tidak tuntas
hukum. Penyidikan kasus pelecehan seksual tidak berperspektif difabel. Karena
susah untuk mengungkap bukti, komunikasi terbatas membuat persidangan
berbelit-belit,” ujar Purwanti.
“Pernah ada kasus perkosaan
difabel. Tidak diketahui siapa yang menghamilinya. Lha wong kejadiannya di tempat terpencil di rumah pengasingannya.
Kasus seperti ini sama sekali tidak menyentuh hukum” kisah Purwanti, tampak
kesal dengan banyaknya kekerasan yang menimpa perempuan difabel.
Perempuan difabel kurang dibekali
pendidikan seks sehingga tidak dapat membentengi diri. Masyarakat beranggapan
difabel adalah aseksual, tidak memiliki kebutuhan seks. Minimnya pendidikan
seks membuat perempuan difabel tidak sadar bahwa mereka sedang menjadi korban
pelecahan. “Bahkan pernah suatu kasus persidangan perkosaan atas tuna rungu
wicara baru berakhir dan konangan
pelakunya ketika korban menulis 'apakah begini yang rasanya diperkosa?', “ tambah
purwanti.
Kekerasan seksual juga menimpa
difabel paraplhegia (lumpuh syaraf sensorik dan motorik yang meliputi separuh
badan penderita). Para penderita difabel paraplhegia umumnya adalah para korban
bencana alam seperti gempa bumi. Kekerasan
seksual yang menimpa difabel paraplhegia berupa pemaksaan untuk melayani
kebutuhan seksual (marital rape).
Padahal, kegiatan seksual memungkinkan berdampak buruk pada kesehatan kelamin
difabel paraplhegia. Karena otot-otot dalam vagina sudah tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Sehingga saat terjadi kegiatan seksual memungkinkan
terjadi luka yang berujung pembusukan (infeksi).
Dalam buku, menguak tabir kekerasan terhadap perempuan difabel,(
2006: SAPDA, Nurul, dkk) banyak perempuan difabel baru yang dipulangkan kerumah
orang tuanya, diceraikan, bahkan diselingkuhi. Perempuan difabel baru ini
mengalami depresi berat menerima kondisi dan penolakan dari keluarganya.
Akhirnya banyak perempuan difabel yang pasrah pada keadaan dan berkomentar,
“..sudah perempuan, cacat lagi, mau apa lagi, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak
diceraikan saja sudah bagus.”
Dikisahkan pula beberapa
perempuan difabel menjadi pencari nafkah tunggal dalam keluarganya. Namun penghasilannya
selalu diambil paksa oleh suaminya. Beberapa bahkan tidak dinafkahi oleh
suaminya. Lebih parahnya diskriminasi ini berujung hingga perampasan properti
seperti kutipan berikut, “..saya sudah tidak punya apa-apa. Orang tua, rumah,
juga harta. Bantuan dari dinas sosal, SAPDA, dan warung saya diambil suami.
Kalau saya mau makan mie atau anak
saya mau beli bensin, saya harus bayar di warung saya sendiri..”
Diskriminasi terhadap perempuan
difabel ini jarang terkuak dalam masyarakat secara luas. Selain perempuan
difabel secara pribadi menutupi, keluarga pun terkadang malu untuk
mengungkapkan pelecehan yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian Nurul, hanya
20% kasus kekerasan perempuan difabel di
Yogyakarta yang terungkap.
Cita
dan Cinta
“Ambil
kesempatan! Jangan menunggu kesempatan itu datang. Tidak akan ada yang memberi,
orang lain selalu meragukan kita. Untuk itu, buktikan! Kita juga bisa!” ujar
anggota KPUD Sleman Nuning Suryatiningsih. Nuning menyayangkan sikap perempuan
difabel yang minder dan terperangkap
oleh kuasa stigma.
Nuning
telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan. Keberadaannya di KPU
bahkan sudah memberi arti bagi kaum difabel. Usulannya tentang pemilu
berprespektif difabel direalisasikan pemerintah dengan adanya pemilu AKSES.
Sehingga difabel pun dapat menyumbangkan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS)
khusus yang disertai dengan alat-alat pendukung untuk difabel.
Sedari
kecil orang tua Nuning tidak pernah membedakannya dengan saudara yang lain.
Perempuan yang terkena polio sejak umur
dua tahun ini selalu dimotivasi oleh ayahnya. ”Ketika
kamu diejek oleh temenmu, kamu jangan takut. Buktikan kamu akan lebih pintar
dari yang mengejek kamu. Tolong tunjukkan sama temanmu, kalau kamu ada
kekurangan di sisi ini kamu harus mempunyai kelebihan yang lain,” kenang Ibu
satu anak ini ketika ditanya mengapa dirinya begitu percaya diri.
Sama
halnya dengan Purwanti. Ayah angkatnya dengan keras memaksanya untuk selalu
mandiri. Bahkan ketika paman angkatnya ingin memberikan sebuah kursi roda, ayah
angkatnya melarang. “Kalau dia dikasih
kursi roda. Nanti dia gak mau belajar jalan,”
kenangnya.
Tidak
banyak perempuan difabel yang mendapat dukungan layaknya Nuning dan Purwanti.
Nurul juga menganggap bahwa persoalan utama dari difabel adalah didikan yang
tidak berperspektif difabel. Keluarga yang tidak memberikan ruang sosialisasi
yang cukup mengakibatkan difabel makin jauh dari masyarakat. Penyebabnya adalah
perilaku abai atau perlindungan yang berlebihan terhadap difabel.
“Sebenarnya
setelah dilakukan penyuluhan tentang politik dan HAM, banyak lho perempuan difabel yang kritis.
Sayang hal ini tidak tergali, sehingga orang lain juga tidak banyak yang tahu.”
ujar Nuning. Kemandulan pemikiran,
begitu Nuning menyebutnya, merupakan dampak dijauhkannya mereka dari
kemandirian, terlalu dilindungi. Nuning menunjukkan bahwa dukungan keluarga
adalah sesuatu yang penting.
Hal ini
mengingatkan kepada kisah Helen Keller, pionir advokat atas perjuangan hak
asasi difabel. Seorang perempuan buta, bisu, dan tuli itu mendapat berbagai
penghargaan berupa Presidential Medal of
Freedom oleh Presiden Lyndon Johnson (1908-1972) pada
tahun 1964. Juga Honorary University Degrees Women's Hall of Fame,
namanya diabadikan disana, Hall of Fame, New York. Dalam film Miracle worker, waltdisney, 2001,
perempuan yang lulus cumlaude pada
universitas Radcliffe College ini adalah sosok yang berperangai perusak. Bahkan
oleh keluarganya, Helen dijuluki monster. Hingga ia bertemu Anna Sullivan, guru
yang mengajarkan Helen perbendaharaan kata. Oleh karena dukungan yang begitu
besarlah Anna Sullivan dijuluki miracle
worker. Kisah tersebut terangkum dalam buku karangan Helen, story of my life.
Dukungan orang tua pula yang
membawa Suci dan teman-temannya bersekolah di YPAC. Disana mereka bersama-sama
membangun mimpi untuk membuktikan bahwa mereka bisa. Sebagai manusia, perempuan
difabel pun memiliki cita yang ingin digapai. Namun tanpa dukungan dari
lingkungan sekitar, cita hanyalah sekedar asa. Dukungan layaknya kunci agar
perempuan difabel terlepas dari kungkungan multidiskriminasi. Sedangkan cita
adalah motivasi dari dalam diri untuk membuktikan bahwa kecacatan bukanlah
sebuah keterbatasan. Kepercayaan diri dan dukungan lingkungan tidak bisa
dipisahkan dalam memperjuangkan persoalan perempuan difabel. Menghilangkan
stigma dan memberikan dukungan adalah wujud cinta dan kasih sayang sesama agar
cita mereka tidak hanya sekadar asa.(*)