Mengenai Saya

Foto saya
pribadi yang melangkah sesuai panggilan harapan..untuk berubah..disini kuas ditorehkan..dioles carut marut hidup..senang dan susah..pemikiran, harapan dan sampah kekecewaan..

Minggu, 12 Agustus 2012

Berhenti menghampar asa

Ku hampar pasir pun tak akan menghilang sosokmu
Malah aku yang terhampar pada sela karang
Kering kerontang tak bergerak
Beginilah terhampar
Terkapar dalam asa yang tak kunjung usai
Urung mengurung ku hampar lautan
Agar sosokmu terbenam seiring senja
Urung mengurung ku tebar sekam kemudian kubakar
Agar sosokmu membumbung dan kembali menjadi pelangi
Asa segeralah menjumput
Kesunyian yang terbalut dalam dengki dan benci
Asa segeralah kau hapus pelangi pada wajah ini

-Sahur,13 Aug-
-berharap kemuliaan kuasa atas pinta yang tak kunjung tiba-

Kamis, 02 Agustus 2012

Perempuan Difabel; Terkukung Kuasa Stigma!


aku………. terlahir  karena ridho illahi.
aku hidup lupa atau terlupa
bukan…. ini bukan mau ku
bukan ……. ini bukan salah ku
ku juga ingin maju…. ku juga ingin pintar dan aku juga ingin trampil
walau banyak orang yang meremehkanku
walau banyak orang yang menertawakanku
tapi………….. aku akan tunjukan pada mereka.
aku bisa seperti mereka..
aku bisa berkarya ..
aku bisa berprestasi dan
aku bisa mandiri
ya…………  Allah berikanlah aku kekuatan
tuk buktikan pada mereka bahwa aku BISA….
Suci (murid  SLTP YPAC Surakarta, Difabel Tuna Daksa)

Everything has its wonders, even darkness and silence, and I learn, whatever state I may be in, therein to be content.
Helen Keller

Riuh tepuk tangan menyambut puisi yang dibacakan Suci. Suci dan teman-temannya duduk di atas kursi roda masing-masing, berkumpul, melingkar. Berbagi cerita tentang asa dan cita. Suci berharap memiliki sebuah warnet kelak. Sementara Tari bercita menjadi seorang penulis terkenal. Dan Hanik berharap memiliki sebuah butik batik. Puisi Suci seolah mewakili harapan mereka untuk membuktikan kepada seluruh masyarakat bahwa dengan keterbatasan yang mereka miliki pun mampu untuk mewujudkan cita-cita. Sayang sebagai perempuan difabel, mereka belum paham jika di sekeliling mereka berdiri kokoh tembok diskriminasi.
Purwanti (31), aktivis difabel berkenaan penyaluran bantuan kursi roda di Cilacap mengungkapkan, “Perempuan difabel mengalami Triple diskriminasi. Dia terdiskriminasi sebagai perempuan, sebagai difabel, dan terdiskriminasi karena mereka miskin. Akhirnya perempuan difabel tidak hanya diduakan tetapi menjadi nomor sekian di mata masyarakat" Perempuan difabel tergolek tak berdaya diantara persoalan feminisme, dan difabel. Tembok diskriminasi mengurung kebebasannya sebagai perempuan. Statusnya sebagai difabel semakin memperburuk keadaan.
Isu persamaan gender tampaknya tak berdampak signifikan terhadap posisi perempuan. Perempuan tetap terkurung dalam keterbatasan untuk berekspresi, berkarya, dan berkarier dalam masyarakat. Perempuan cenderung menjadi korban dalam beberapa kasus seperti: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan, perdagangan manusia hingga prostitusi. Stereotip klasik tentang perempuan masih berkutat pada dapur, sumur, dan kasur.
Mengutip pernyataan Mansour Fikh dalam buku Analisa Gender dan Transformasi Sosial (2007:7-24) mengatakan bahwa hal tersebut mengindikasikan ketidakadilan gender. Mansour menambahkan, terdapat lima macam bentuk ketidakadilan gender, yaitu: marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja.
Pernyataan senada juga diungkapkan Purwanti.  Ia mencontohkan sebuah kasus pemberian hak asuh anak dalam perceraian di Indonesia. Pihak laki-laki sebagian besar memenangkan hak asuh anak karena dianggap lebih mampu secara finansial. “Hal tersebut mengamini stereotip negatif perempuan bahwa perempuan tidak dapat mandiri secara ekonomi,” sembari membenahi posisi duduknya di atas kursi roda.
Sudah selayaknya perempuan setara dengan lelaki dalam berbagai akses sesuai dengan kesetaraan gender. “Perjuangan di atas pola patriarki ini bergerak lamban, tapi bukan berarti tidak menghasilkan. Hanya saja belum mencapai perubahan sistem,” ujarnya lanjut. Perjuangan perempuan, bagi perempuan yang bergabung dalam Serikat Perempuan Tanpa Batas (SPTB) ini adalah perjuangan perempuan untuk diakui secara bermartabat, mendapat hak, dan kesempatan yang sama dalam masyarakat.

Perempuan = Cacat?
Banyak pihak menyangsikan kemampuan perempuan difabel dalam memenuhi kodratnya sebagai perempuan untuk mengurus rumah tangga, melahirkan, mendidik anak, dan melayani suami. “Bahkan terdapat stigma masyarakat bahwa anak yang dilahirkan dari perempuan difabel akan difabel juga. Padahal belum tentu, karena penyebab difabel belum tentu dari proses genetik,” ungkap Nurul Sa’adah (33),  Direktur Utama Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) di Yogyakarta. Difabel daksa ini membuktikan bahwa kedua putranya lahir normal meski dirinya difabel. Perempuan difabel mengalami stereotip negatif yaitu pelabelan terhadap sesuatu dengan negatif yang berujung pada ketidakadilan.
Stereotip negatif itu pernah dialami Nuning Suryatiningsih (46), Direktur Utama CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Life of people with disability). Nuning mendapat komentar negatif dari seorang ibu, lawan bicaranya di bus. “Ah, untung ya anak saya. Anak saya juga cacat kayak kamu. Untung anak saya laki-laki jadi anak saya masih punya hak untuk milih (jodoh) daripada kamu,” kenang ibu satu anak ini.
Perempuan bersuami non-difabel ini pun sempat mendapat pandangan negatif dari teman-teman suami. “Perempuan lain kan banyak, kenapa kamu memilih perempuan seperti itu,” cerita Nuning tentang pendapat teman-teman suaminya. Begitu pula komentar dari pihak orang tua suami, “Kok, kamu mencari orang yang seperti itu. Jangan-jangan nanti gak bisa punya anak. Tapi kalau mau ya silahkan, itu pilihan kamu,” tiru ibu berjilbab ini.
Perempuan difabel dipaksa hidup dalam subordinasi. Subordinasi tersebut menempatkan perempuan untuk hidup dalam kelas terendah, bahkan lebih rendah dari perempuan. Hal tersebut dirasakan Nurul Sa’adah, ketika akan menikah dengan lelaki non-difabel.  “Alah, anakku bagus-bagus kok dapet istrinya cacat. Yaudah kalau kamu ingin menikah dengan itu, misalkan kalau kamu pingin perempuan yang lain, ya tinggal nikah lagi aja,,” ungkap menguak tabir kekerasan terhadap perempuan difabel ini menceritakan subordinasi yang dilakukan mertuanya itu.Subordinasi juga terlihat di ruang kerja. Diakui oleh Nuning, bahwa dalam pekerjaan, perempuan non-difabel pun merasa lebih unggul ketimbang perempuan difabel. Subordinasi inilah yang akan menjadikan perempuan difabel termarjinalkan.
Beberapa difabel, laki-laki, juga berharap kelak pasangannya adalah non-difabel. Hal itu diperkuat pula akan komentar orang tua difabel laki-laki yang mendiskreditkan perempuan difabel seperti berikut, “Kamu sudah cacat, kok mencari yang cacat juga?”. Perempuan difabel diposisikan sebagai pilihan terakhir, bahkan diharapkan untuk tidak terpilih. Padahal mereka memiliki kemampuan yang sama dengan perempuan non-difabel meski terhalang keterbatasan. ”Berbagai stigma yang buruk berdampak keminderan perempuan difabel untuk menikah. Hal itu juga dipengaruhi, minimnya pengetahuan akan kelahiran dan kesehatan reproduksi” jawab nurul tentang dampak dari diskriminasi perempuan.

Perempuan difabel: Terabaikan!
Perempuan difabel tidak lepas pula dari cengkraman diskriminasi aksi, diskriminasi secara fisik. Perempuan difabel, khususnya tuna rungu wicara, tuna netra, dan tuna grahita, paling sering dan rentan terhadap pelecehan seksual. Keterbatasan mereka, membuat kesempatan pelecehan seksual lebih mudah terjadi. Parahnya, pelaku dari kejadian ini tidak lain adalah orang terdekat dari difabel.“Kalau tidak pembinanya, keluarganya, temannya, tetangganya, dan banyak yang tidak tuntas hukum. Penyidikan kasus pelecehan seksual tidak berperspektif difabel. Karena susah untuk mengungkap bukti, komunikasi terbatas membuat persidangan berbelit-belit,” ujar Purwanti.
“Pernah ada kasus perkosaan difabel. Tidak diketahui siapa yang menghamilinya. Lha wong kejadiannya di tempat terpencil di rumah pengasingannya. Kasus seperti ini sama sekali tidak menyentuh hukum” kisah Purwanti, tampak kesal dengan banyaknya kekerasan yang menimpa perempuan difabel.  
Perempuan difabel kurang dibekali pendidikan seks sehingga tidak dapat membentengi diri. Masyarakat beranggapan difabel adalah aseksual, tidak memiliki kebutuhan seks. Minimnya pendidikan seks membuat perempuan difabel tidak sadar bahwa mereka sedang menjadi korban pelecahan. “Bahkan pernah suatu kasus persidangan perkosaan atas tuna rungu wicara baru berakhir dan konangan pelakunya ketika korban menulis 'apakah begini yang rasanya diperkosa?', “ tambah purwanti.
Kekerasan seksual juga menimpa difabel paraplhegia (lumpuh syaraf sensorik dan motorik yang meliputi separuh badan penderita). Para penderita difabel paraplhegia umumnya adalah para korban bencana alam seperti gempa bumi. Kekerasan seksual yang menimpa difabel paraplhegia berupa pemaksaan untuk melayani kebutuhan seksual (marital rape). Padahal, kegiatan seksual memungkinkan berdampak buruk pada kesehatan kelamin difabel paraplhegia. Karena otot-otot dalam vagina sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga saat terjadi kegiatan seksual memungkinkan terjadi luka yang berujung pembusukan (infeksi).
Dalam buku, menguak tabir kekerasan terhadap perempuan difabel,( 2006: SAPDA, Nurul, dkk) banyak perempuan difabel baru yang dipulangkan kerumah orang tuanya, diceraikan, bahkan diselingkuhi. Perempuan difabel baru ini mengalami depresi berat menerima kondisi dan penolakan dari keluarganya. Akhirnya banyak perempuan difabel yang pasrah pada keadaan dan berkomentar, “..sudah perempuan, cacat lagi, mau apa lagi, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak diceraikan saja sudah bagus.”
Dikisahkan pula beberapa perempuan difabel menjadi pencari nafkah tunggal dalam keluarganya. Namun penghasilannya selalu diambil paksa oleh suaminya. Beberapa bahkan tidak dinafkahi oleh suaminya. Lebih parahnya diskriminasi ini berujung hingga perampasan properti seperti kutipan berikut, “..saya sudah tidak punya apa-apa. Orang tua, rumah, juga harta. Bantuan dari dinas sosal, SAPDA, dan warung saya diambil suami. Kalau saya mau makan mie atau anak saya mau beli bensin, saya harus bayar di warung saya sendiri..”
Diskriminasi terhadap perempuan difabel ini jarang terkuak dalam masyarakat secara luas. Selain perempuan difabel secara pribadi menutupi, keluarga pun terkadang malu untuk mengungkapkan pelecehan yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian Nurul, hanya 20%  kasus kekerasan perempuan difabel di Yogyakarta yang terungkap.

Cita dan Cinta
“Ambil kesempatan! Jangan menunggu kesempatan itu datang. Tidak akan ada yang memberi, orang lain selalu meragukan kita. Untuk itu, buktikan! Kita juga bisa!” ujar anggota KPUD Sleman Nuning Suryatiningsih. Nuning menyayangkan sikap perempuan difabel yang minder dan terperangkap oleh kuasa stigma.
Nuning telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan. Keberadaannya di KPU bahkan sudah memberi arti bagi kaum difabel. Usulannya tentang pemilu berprespektif difabel direalisasikan pemerintah dengan adanya pemilu AKSES. Sehingga difabel pun dapat menyumbangkan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus yang disertai dengan alat-alat pendukung untuk difabel.
Sedari kecil orang tua Nuning tidak pernah membedakannya dengan saudara yang lain. Perempuan  yang terkena polio sejak umur dua tahun ini selalu dimotivasi oleh ayahnya. ”Ketika kamu diejek oleh temenmu, kamu jangan takut. Buktikan kamu akan lebih pintar dari yang mengejek kamu. Tolong tunjukkan sama temanmu, kalau kamu ada kekurangan di sisi ini kamu harus mempunyai kelebihan yang lain,” kenang Ibu satu anak ini ketika ditanya mengapa dirinya begitu percaya diri.
Sama halnya dengan Purwanti. Ayah angkatnya dengan keras memaksanya untuk selalu mandiri. Bahkan ketika paman angkatnya ingin memberikan sebuah kursi roda, ayah angkatnya melarang. “Kalau dia dikasih kursi roda. Nanti dia gak mau belajar jalan,”  kenangnya.
Tidak banyak perempuan difabel yang mendapat dukungan layaknya Nuning dan Purwanti. Nurul juga menganggap bahwa persoalan utama dari difabel adalah didikan yang tidak berperspektif difabel. Keluarga yang tidak memberikan ruang sosialisasi yang cukup mengakibatkan difabel makin jauh dari masyarakat. Penyebabnya adalah perilaku abai atau perlindungan yang berlebihan terhadap difabel.
“Sebenarnya setelah dilakukan penyuluhan tentang politik dan HAM, banyak lho perempuan difabel yang kritis. Sayang hal ini tidak tergali, sehingga orang lain juga tidak banyak yang tahu.” ujar Nuning. Kemandulan pemikiran, begitu Nuning menyebutnya, merupakan dampak dijauhkannya mereka dari kemandirian, terlalu dilindungi. Nuning menunjukkan bahwa dukungan keluarga adalah sesuatu yang penting.
Hal ini mengingatkan kepada kisah Helen Keller, pionir advokat atas perjuangan hak asasi difabel. Seorang perempuan buta, bisu, dan tuli itu mendapat berbagai penghargaan berupa Presidential Medal of Freedom oleh Presiden Lyndon Johnson (1908-1972) pada tahun 1964. Juga Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, namanya diabadikan disana, Hall of Fame, New York. Dalam film Miracle worker, waltdisney, 2001, perempuan yang lulus cumlaude pada universitas Radcliffe College ini adalah sosok yang berperangai perusak. Bahkan oleh keluarganya, Helen dijuluki monster. Hingga ia bertemu Anna Sullivan, guru yang mengajarkan Helen perbendaharaan kata. Oleh karena dukungan yang begitu besarlah Anna Sullivan dijuluki miracle worker. Kisah tersebut terangkum dalam buku karangan Helen, story of my life.
Dukungan orang tua pula yang membawa Suci dan teman-temannya bersekolah di YPAC. Disana mereka bersama-sama membangun mimpi untuk membuktikan bahwa mereka bisa. Sebagai manusia, perempuan difabel pun memiliki cita yang ingin digapai. Namun tanpa dukungan dari lingkungan sekitar, cita hanyalah sekedar asa. Dukungan layaknya kunci agar perempuan difabel terlepas dari kungkungan multidiskriminasi. Sedangkan cita adalah motivasi dari dalam diri untuk membuktikan bahwa kecacatan bukanlah sebuah keterbatasan. Kepercayaan diri dan dukungan lingkungan tidak bisa dipisahkan dalam memperjuangkan persoalan perempuan difabel. Menghilangkan stigma dan memberikan dukungan adalah wujud cinta dan kasih sayang sesama agar cita mereka tidak hanya sekadar asa.(*)