Mengenai Saya

Foto saya
pribadi yang melangkah sesuai panggilan harapan..untuk berubah..disini kuas ditorehkan..dioles carut marut hidup..senang dan susah..pemikiran, harapan dan sampah kekecewaan..

Selasa, 29 Maret 2011

ANTARA MERAH JAMBU DAN LENGUHAN NAFSU


            Ku tutup novel itu dengan terpaksa. Lelah. Setelah membolak-balik tiap lembarnya. Berharap menemukan jawaban atas kebingunganku akan ceritanya yang berakhir ngambang. Aku membaca sedimen senja, karya SN. Ratmana. Sebuah novel yang kupikir adalah sebuah kumpulan cerpen saat ku membelinya. Sedikit kecewa. Namun tidak pada akhirnya. Kebingunganku berakar pada cerita cinta yang dibuat oleh SN.Ratmana yang amat ruwet.
            Cerita cinta antara rustamaji, aji, dan hermiati, her, dan keruwetannya. Rustamaji dan her adalah guru sekolah. Mereka saling mengagumi satu sama lain, benih cinta muncul di hati mereka. Namun ternyata rustamaji yang kepribadiannya memikat para wanita di cintai pula oleh utari, murid mereka sendiri. Sampai suatu ketika ada kejadian yang menegangkan di kelas. Utari menantang bu her, gurunya sendiri, memperebutkan pak aji. Panas dingin, kalang kabut, bu her tidak bisa berpikir lagi. hingga akhirnya bu her memutuskan untuk pergi ke dukun terkenal. Membalas perlakuan muridnya, utari, yang tidak tahu diri.
            Bu her meminta agar utari tidak akan pernah jadian dengan pak aji, ditambah lagi pintanya untuk mempermalukan utari di depan umum layaknya ia telah dipermalukan di kelas. Sang dukun menyanggupi, namun walaupun seorang dukun ia memiliki nilai sebuah keadilan. Dukun itu akan mengabulkan  hanya jika, bu her juga mendapat perlakuan yang sama, yaitu ia tidak akan pernah jadian dengan pak aji pula. Jelasnya, bu her juga harus menghilangkan cintanya kepada pak aji sebagai pengganti permintaan bu her agar Utari tidak jadian dengan pak Aji. Selain itu, bu her juga harus puasa ngeblong dan mengorbankan ayam ke lepas pantai laut selatan agar terkabul permintaannya.
            Bu her menyanggupi. Dan kisah pun berlanjut. Permintaannya tak kunjung terkabul malah utari dan aji semakin dekat saja. Membuat hati bu her semakin murka. Sementara itu, adalah Suyono seorang pria berkeluarga jatuh hati kepada hermiati. Cinta terpaksanya dengan lastri, istrinya, lantaran perjodohan membuatnya tidak merasakan indahnya hidup. Walaupun sudah beranak pinak, tidak mengubah pendirian Suyono akan cintanya kepada her. Suyono pun menyatakan cintanya kepada her.
            Hari yang ditunggu Utari tiba. Pak aji akan datang kerumah untuk melamarnya. Seluruh keluarga Utari diundang untuk menghadiri acara yang sacral itu. Namun sayang di sayang, Utari malah pergi bermain dengan teman-teman nakalnya dahulu. Pergi untuk melakukan petualangan akan nafsu. Seluruh keluarga dan Aji, kecewa. Tanpa tahu tepatnya, kemana Utari pergi ketika Aji datang bertandang.
            Tak lama waktu harus berselang. Bu her telah menikah dengan pak yono. Lastri, istri pak yono, harus menerima penderitaan atas pemecatan dirinya sebagai istri. Begitu halnya aji, utari mengecewakan, bu Her pun telah diambil orang. Resepsi pernikahan mereka pun tak ayal di hiasi oleh amukan Lastri, yang saat itu menghadiri undangan. Di tempat yang berbeda, Utari ketahuan basah berbuat mesum dengan seorang sopir. Merekapun dikawinkan. Berbeda dengan lastri, Aji lebih memilih untuk sakit sebagai pelampiasan rasa kecewanya. Dan begitulah takdir memutuskan. Aji menikah dengan seorang muridnya yang tidak sengaja menjenguk dan akhirnya selalu merawat Aji di kala sakit. Wanita itu, Arum namanya.
            Tidak selesai dengan mudahnya seperti demikian cerita tersebut. Setelah menikah ternyata Aji dan Her masih memendam rasa yang sama, CINTA. Keberuntungan menyabut mereka yang saat ini berpangkat tidak hanya menjadi guru. Tetapi Her telah menjadi kepala sekolah, sedangkan Aji menjadi pengawas sekolah di Kota yang sama. Tak ayal walaupun atas nama pekerjaan dinas, mereka masih bisa bertemu. Hingga suatu ketika Her meminta Aji membukukan kisah cinta mereka. Pekerjaan berat ini harus dipikul Aji untuk menunjukkan betapa besar cintanya. Tentunya tanpa diketahui arum, sebagai istri sahnya, yang dapat menimbulkan terbakarnya api cemburu.  
            Novel selesai. Namun sayang, empat tahun berlalu sejak kematian Her, yang belum sempat membacanya. Begitu pula istrinya, telah meninggal satu tahun yang lalu. Konflik dimulai, yono membaca novel tersebut. Novel yang oleh tangan Aji telah digubah sedemikian rupa hingga terputar balik fakta, tersekat tipis antara fiksi dan realita. Menyebabkan ragu pada hati Yono, dipertanyakan kesetian istrinya yang saat ini telah tiada. Kegundahan melanda, begitu pula Aji yang menulisnya, takut-takut diketahui telah ia sengaja memutarbalikkan fakta. Namun sayang, cerita itu telah beredar ke kalangan umum dan menjadi konsumsi publik yang sangat di gandrungi. Dibarengi kegalauan akan novel dari cinta terlarangnya itu. Aji merindu akan istrinya yang sampai akhir tetap setia menemaninya. Ditengah usia senja mereka, aji dan yono, mengalami pergulatan batin yang amat menyiksa.
            Saling merana karena cinta. Gejolak persaingan antara manusia yang saling mecinta membuat batas norma terlewati. Cinta ditolak dukun bertindak. Tidak akan semua itu terjadi jika nafsu bisa ditahan. Pergi ke dukun, karena nafsu amarah yang menjulang. Menceraikan istri, karena nafsu mata, penyebab tidak setia. Gagal nikah, karena bergelimang nafsu syahwat. Memutarbalikkan fakta yang tidak lain selimut dari fitnah sebagai cerminan nafsu membanggakan diri. Kesemuanya berpangkal pada nafsu.
            Yah, memang tipis batas cinta dan nafsu. Tak ayal menyisakan luka di hati masing-masing  pelakunya. Begitu pula pengalaman saya. Jika saja diri bisa dikendalikan. Tentunya tidak akan ada amarah yang berlebihan, nafsu yang menggelinjang, bahkan pemborosan pikiran, hati dan juga uang. Mungkin sebagai manusia, kita perlu belajar menjadi tukang martabak, haha. Yang memutar-mutar kulit martabak setipis-tipisnya tanpa merobek sedikitpun adonannya. Analogi yang aneh ya, tapi biarlah, haha.   
            Selain mengingatkan akan batas cinta dan nafsu. Saya sendiri sangat tertarik dengan bagian bu Her pergi ke dukun. Dengan harapan mencelakai, malah celaka sendiri. Kaget juga dengan model dukun yang mengusung keadilan seperti itu. Atau mungkin dukun tersebut, oleh SN. Ratmana adalah analogi dari Tuhan, Sang Maha Adil. Seperti kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu akan mengabulkan segala permohonan dari hambanya dan mewujudkannya melalui tiga cara. Langsung dikabulkan, dihindarkan dari hal yang semacamnya, atau ditunda hingga ke akhirat kelak. Yah, memang Tuhan Maha baik, namun apakah kita akan mendapatkannya dengan Cuma-Cuma?, tentu tidak. Logika kita saja bisa menjawabnya. Semua tokoh disini memang pelaku ketidakadilan yang akhirnya merana karena perbuatan mereka sendiri. Menuruti seluruh kata hati, terkadang malah menjadi penurutan yang berujung penyesalan. Lebih baik memilih dan bersabar sehingga hati kecil kita benar-benar bisa bersuara dengan lantang.
            Dan hal itu yang membuat saya tidak jadi menyesal membeli buku ini. Setidaknya selain memberi pelajaran, novel ini mengantarkan saya untuk bernostalgia dalam rentan waktu yang tidak lama. Akan diri saya yang menjebol batas cinta menjadi nafsu. Akan diri saya sendiri yang dipenuhi nafsu. Akan segudang penyesalan saya. Akan seribu rencana untuk memperbaikinya. Dan saya yang berusaha, begitu pula akan ratap doa. Tetap hanya Tuhan yang berkuasa. Memutuskan.

Minggu, 27 Maret 2011

renungan:TUHAN MAHA ADILKAN?


Setelah membaca ekonomi kerbau bingung yang berisi tentang derita rakyat jelata. Saya mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Menurut kemampuan berpikir saya Tuhan memberikan derita pada manusia karena dua hal; cobaan dan akibat dari sebuah perbuatan. Hal yang sudah lama tidak pernah terbantahkan kebenarannya hingga saya selesai membaca kisah tentang ngatiyem dalam buku tersebut. Bukan berarti saya sok pintar ataupun tahu akan segalanya, tetapi ini hanya buah pikiran saya, kebetulan saja teori itu belum terbantahkan. Namun dari kisah ngatiyem yang saya baca, saya rasa, saya perlu mengaji ulang pemikiran tersebut.
Ngatiyem, adalah seseorang janda, meninggalkan suaminya dan anaknya dari Jakarta jauh ke yogya. Tidak kuat akan omelan suaminya yang terus nyerocos, wanita usia 17 tahun ini memilih untuk kembali ke kampung halamannya. Emosi menjadi sebabnya. Tidak bisa membawa putri tercintanya, ia kembali ke kampung halaman bersama tubuh dan hatinya yang gundah. Sayang, tidak ada lagi keluarga yang bisa disinggahinya. Melainkan semua telah kembali kepada yang kuasa. Untung saja, tanah TUHAN tak bertepi. Ngatiyem memilih jalanan sebagai tempat tinggalnya.
Yogyakarta, menjadi tempat singgahnya yang baru. Di sana ia menjalani lembaran baru dengan penuh rindu pada putrinya di Jakarta. Sesal dalam hatinya meninggalkan suami karena emosinya yang labil saat itu. Sampai suatu ketika dengan kuasa TUHAN. Ngatiyem menikah dengan Sudiono, seorang tukang becak. Ngatiyem menjalani hidup barunya dan TUHAN mengkaruniainya sebuah anak, Dono namanya.
Tak selang lama dari kisah bahagianya, cobaan kembali datang. Sudiono jarang membawa penghasilan dari pekerjaannya. Sepi pelanggan menjadi alasannya. Sudiono yang juga suka berjudi membuat buruk mata Ngatiyem memandangnya. Ngatiyem marah. Dan mulailah percekcokan. Tidak terima dimarahi. Sudiono balik mengancam akan membunuh Ngatiyem.
Ngatiyem yang ketakutan membawa lari anaknya, dono. Pergi meninggalkan Sudiono yang kalap. Namun, saya tidak bisa menyebutnya cobaan atau kesialan (silahkan pembaca menafsirkan atau memilihnya dengan apa yang anda inginkan), Sudiono mengejar mereka dan merebut Dono kembali. Jauh di dalam lubuk hati Ngatiyem, sebagai seorang ibu, pasti perih tak terkira. Untuk kedua kalinya dijauhkan dari buah hati. Dan jalanan, kembali menjadi tempat berteduhnya. Berteduh dari hujan kesedihan yang entah kapan redanya.
Dari situ saya bertanya tentang sebuah hal yang mustahal, mungkin saya juga terlalu kelewatan, saya mempertanyakan logika TUHAN memberikan sebuah derita? Saya sendiri takut untuk meneruskan pemikiran saya, saya takut berujung pada hilangnya kepercayaan saya akan TUHAN. Akan tetapi sebelum saya melanjutkan, saya berpikir bahwa ini adalah sebuah jalan pencarian saya terhadap TUHAN, dan saya melanjutkan kebingungan saya.
Wanita itu, Ngatiyem. Entah hidupnya memeluk agama atau tidak, percaya akan kuasa atau tidak, berbuat dosa atau tidak. Lepas dari itu semua. Dia adalah manusia yang tidak tahu menahu banyak tentang agama. Bersyukurlah anda sekalian telah memeluk agama dan memiliki kepercayaan semenjak anda dilahirkan! Dan dengan bimbinganNYA, terserah dengan kepercayaan apa yang anda anut, anda dituntun untuk berbuat kebaikan. Seperti pernyataan saya di atas, derita itu di berikan sebagai cobaan atau akibat dari sebuah perbuatan. Saya menanyakan nasib Ngatiyem, berkali-kali ditimpa pahitnya kehidupan yang berbanding miring dalam timbangan indahnya hidup.
Saya sendiri tidak menahu bagaimana Ngatiyem menjalani kehidupan. Yang saya ambil kesimpulan, Ngatiyem adalah, sebut saja (anda berhak memilih kata yang lebih baik), korban. Saya sempat berpikir begitu, Ngatiyem adalah manusia yang terpilih oleh TUHAN untuk menjadi ibroh(pelajaran) buat yang lainnya. Menjadi contoh bagaimana manusia harus menjalani apa yang disebut dengan kesabaran. Pun begitu dengan manusia harus bersyukur dengan apa yang telah diberikan TUHAN. Yang kemudian, Ngatiyem diberi kenikmatan pada dunia lain kelak. Yah, TUHAN yang lebih tahu. Saya hanya merasakan kasihan, mungkin hati kecil saya berkata ini tidak adil, tapi nyatanya hati kecil yang lain mengiyakan bahwasanya TUHAN berkuasa dan lebih tahu apa yang dilakukan pada hamba-hambanya. Hanya saja jika itu sebuah cobaan, saya tidak dapat menangkap hikmah yang telah didapat dari Ngatiyem. Apakah karena Ngatiyem tidak pandai bersyukur dan beribadah, sehingga cobaan datang lagi untuk menimpanya?
Namun belum selesai saya menemukan jawaban dengan penuh keraguan, akhirnya saya tepis analisa saya tentang manusia menjadi sebuah korban dari ketidakadilan TUHAN.  Hati saya kembali bertanya-tanya. Dari yang saya ketahui, bahwa TUHAN tidak memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan manusianya. Nah, yang menjadi pertanyaan, bisakah kalian bayangkan bagaimana rasa sakitnya seorang wanita yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan. Membesarkan dan mengasuh dengan penuh sayang. Harus dipisahkan dengan buah hati tercintanya, bahkan untuk yang kedua kalinya!
Saya yakin Ngatiyem tidak begitu biadabnya, untuk kuat berpisah dengan kedua anaknya, putri dan putranya, dengan menganggap itu sebagai sambil lalu. Jika itu menyisakan keperihan yang mendalam, kenapa TUHAN memberikan cobaan kepadanya? Apakah kemampuan yang dimaksudkan TUHAN adalah kemampuan berpikir yang diberikanNYA kepada manusia? Sehingga dengan kemampuan Ngatiyem yang notabane nya sebagai rakyat jelata, hanya mampu berpikir bahwa derita itu tidak seberapa dibandingkan rong-rongan rongga perut yang melompong kosong minta untuk di isi? Saya juga yakin tidak begitu.
Saya menyerah, mencoba membuka tabir rahasia TUHAN memberi derita pada hambanya. Dari proses pemikiran itu, bertetes-tetes ceceran pikiran lain yang mengarahkan saya untuk mengalihkan otak ini ke arah lain. Pikiran saya mentok pada, hidup saya terlalu banyak diberkahi! Bahkan ketika saya sedang diberi derita akibat perbuatan saya sendiri (dosa). Saya masih dikaruniai berkah-berkahNYA. Berkah-berkah yang kecil seperti pecahan kaca dan membuat saya menangis. Saya tidak tahu bagaimana harus mensyukurinya. Tidak tahu bagaimana berterimakasih atas kemuliaan dan berkah yang telah diberikanNYA. Kecuali hanya ucapan terimakasih semata dan ibadah yang sebisanya. Hanya itu yang bisa saya simpulkan dari pertanyaan saya, yang tak kunjung terjawab. Dan jika pemikiran tentang ketidakadilan datang kembali, segera ku menepisnya dengan rasa syukur. Sepertinya TUHAN membisikkan padaku bahwa, tak pantas untukku mengulasnya.
Tulisan itu hidup dan berkembang. Layaknya tulisan ini, pencerahan datang untuk memberikan nyawa kelanjutan sebuah tulisan. TUHAN Maha Kuasa, dengan segala keinginanNYA. Seperti halnya cerita Ngatiyem yang membekaskan tanda tanya pada diri saya. Dan rahasia kisah Ngatiyem adalah salah satu dari kuasaNYA. DiberkatiNYA Ngatiyem untuk terus berjalan dalam kesusahan adalah kehendakNYA, begitu pula dengan saya yang selalu diberi rejeki yang tidak terhitung jumlahnya, pun dengan seluruh manusia yang hidup di dunia ini. Dan saya pasrah dengan segala kehendakNYA. Bukan berarti saya tidak mau berusaha ataupun berdoa, namun ketika rasa pasrah itu telah tiada. Bagaimana saya bisa menerima semuaNYA? Bahkan dalam tiap ucap doa dan usaha, kekhawatiran itu tetap ada. Bagi saya itu wujud rendah diri dihadapanNYA.

Inspirasi: Shindunata, Ekonomi Kerbau bingung, penerbit KOMPAS