Ku tutup novel itu dengan terpaksa. Lelah. Setelah membolak-balik tiap lembarnya. Berharap menemukan jawaban atas kebingunganku akan ceritanya yang berakhir ngambang. Aku membaca sedimen senja, karya SN. Ratmana. Sebuah novel yang kupikir adalah sebuah kumpulan cerpen saat ku membelinya. Sedikit kecewa. Namun tidak pada akhirnya. Kebingunganku berakar pada cerita cinta yang dibuat oleh SN.Ratmana yang amat ruwet.
Cerita cinta antara rustamaji, aji, dan hermiati, her, dan keruwetannya. Rustamaji dan her adalah guru sekolah. Mereka saling mengagumi satu sama lain, benih cinta muncul di hati mereka. Namun ternyata rustamaji yang kepribadiannya memikat para wanita di cintai pula oleh utari, murid mereka sendiri. Sampai suatu ketika ada kejadian yang menegangkan di kelas. Utari menantang bu her, gurunya sendiri, memperebutkan pak aji. Panas dingin, kalang kabut, bu her tidak bisa berpikir lagi. hingga akhirnya bu her memutuskan untuk pergi ke dukun terkenal. Membalas perlakuan muridnya, utari, yang tidak tahu diri.
Bu her meminta agar utari tidak akan pernah jadian dengan pak aji, ditambah lagi pintanya untuk mempermalukan utari di depan umum layaknya ia telah dipermalukan di kelas. Sang dukun menyanggupi, namun walaupun seorang dukun ia memiliki nilai sebuah keadilan. Dukun itu akan mengabulkan hanya jika, bu her juga mendapat perlakuan yang sama, yaitu ia tidak akan pernah jadian dengan pak aji pula. Jelasnya, bu her juga harus menghilangkan cintanya kepada pak aji sebagai pengganti permintaan bu her agar Utari tidak jadian dengan pak Aji. Selain itu, bu her juga harus puasa ngeblong dan mengorbankan ayam ke lepas pantai laut selatan agar terkabul permintaannya.
Bu her menyanggupi. Dan kisah pun berlanjut. Permintaannya tak kunjung terkabul malah utari dan aji semakin dekat saja. Membuat hati bu her semakin murka. Sementara itu, adalah Suyono seorang pria berkeluarga jatuh hati kepada hermiati. Cinta terpaksanya dengan lastri, istrinya, lantaran perjodohan membuatnya tidak merasakan indahnya hidup. Walaupun sudah beranak pinak, tidak mengubah pendirian Suyono akan cintanya kepada her. Suyono pun menyatakan cintanya kepada her.
Hari yang ditunggu Utari tiba. Pak aji akan datang kerumah untuk melamarnya. Seluruh keluarga Utari diundang untuk menghadiri acara yang sacral itu. Namun sayang di sayang, Utari malah pergi bermain dengan teman-teman nakalnya dahulu. Pergi untuk melakukan petualangan akan nafsu. Seluruh keluarga dan Aji, kecewa. Tanpa tahu tepatnya, kemana Utari pergi ketika Aji datang bertandang.
Tak lama waktu harus berselang. Bu her telah menikah dengan pak yono. Lastri, istri pak yono, harus menerima penderitaan atas pemecatan dirinya sebagai istri. Begitu halnya aji, utari mengecewakan, bu Her pun telah diambil orang. Resepsi pernikahan mereka pun tak ayal di hiasi oleh amukan Lastri, yang saat itu menghadiri undangan. Di tempat yang berbeda, Utari ketahuan basah berbuat mesum dengan seorang sopir. Merekapun dikawinkan. Berbeda dengan lastri, Aji lebih memilih untuk sakit sebagai pelampiasan rasa kecewanya. Dan begitulah takdir memutuskan. Aji menikah dengan seorang muridnya yang tidak sengaja menjenguk dan akhirnya selalu merawat Aji di kala sakit. Wanita itu, Arum namanya.
Tidak selesai dengan mudahnya seperti demikian cerita tersebut. Setelah menikah ternyata Aji dan Her masih memendam rasa yang sama, CINTA. Keberuntungan menyabut mereka yang saat ini berpangkat tidak hanya menjadi guru. Tetapi Her telah menjadi kepala sekolah, sedangkan Aji menjadi pengawas sekolah di Kota yang sama. Tak ayal walaupun atas nama pekerjaan dinas, mereka masih bisa bertemu. Hingga suatu ketika Her meminta Aji membukukan kisah cinta mereka. Pekerjaan berat ini harus dipikul Aji untuk menunjukkan betapa besar cintanya. Tentunya tanpa diketahui arum, sebagai istri sahnya, yang dapat menimbulkan terbakarnya api cemburu.
Novel selesai. Namun sayang, empat tahun berlalu sejak kematian Her, yang belum sempat membacanya. Begitu pula istrinya, telah meninggal satu tahun yang lalu. Konflik dimulai, yono membaca novel tersebut. Novel yang oleh tangan Aji telah digubah sedemikian rupa hingga terputar balik fakta, tersekat tipis antara fiksi dan realita. Menyebabkan ragu pada hati Yono, dipertanyakan kesetian istrinya yang saat ini telah tiada. Kegundahan melanda, begitu pula Aji yang menulisnya, takut-takut diketahui telah ia sengaja memutarbalikkan fakta. Namun sayang, cerita itu telah beredar ke kalangan umum dan menjadi konsumsi publik yang sangat di gandrungi. Dibarengi kegalauan akan novel dari cinta terlarangnya itu. Aji merindu akan istrinya yang sampai akhir tetap setia menemaninya. Ditengah usia senja mereka, aji dan yono, mengalami pergulatan batin yang amat menyiksa.
Saling merana karena cinta. Gejolak persaingan antara manusia yang saling mecinta membuat batas norma terlewati. Cinta ditolak dukun bertindak. Tidak akan semua itu terjadi jika nafsu bisa ditahan. Pergi ke dukun, karena nafsu amarah yang menjulang. Menceraikan istri, karena nafsu mata, penyebab tidak setia. Gagal nikah, karena bergelimang nafsu syahwat. Memutarbalikkan fakta yang tidak lain selimut dari fitnah sebagai cerminan nafsu membanggakan diri. Kesemuanya berpangkal pada nafsu.
Yah, memang tipis batas cinta dan nafsu. Tak ayal menyisakan luka di hati masing-masing pelakunya. Begitu pula pengalaman saya. Jika saja diri bisa dikendalikan. Tentunya tidak akan ada amarah yang berlebihan, nafsu yang menggelinjang, bahkan pemborosan pikiran, hati dan juga uang. Mungkin sebagai manusia, kita perlu belajar menjadi tukang martabak, haha. Yang memutar-mutar kulit martabak setipis-tipisnya tanpa merobek sedikitpun adonannya. Analogi yang aneh ya, tapi biarlah, haha.
Selain mengingatkan akan batas cinta dan nafsu. Saya sendiri sangat tertarik dengan bagian bu Her pergi ke dukun. Dengan harapan mencelakai, malah celaka sendiri. Kaget juga dengan model dukun yang mengusung keadilan seperti itu. Atau mungkin dukun tersebut, oleh SN. Ratmana adalah analogi dari Tuhan, Sang Maha Adil. Seperti kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu akan mengabulkan segala permohonan dari hambanya dan mewujudkannya melalui tiga cara. Langsung dikabulkan, dihindarkan dari hal yang semacamnya, atau ditunda hingga ke akhirat kelak. Yah, memang Tuhan Maha baik, namun apakah kita akan mendapatkannya dengan Cuma-Cuma?, tentu tidak. Logika kita saja bisa menjawabnya. Semua tokoh disini memang pelaku ketidakadilan yang akhirnya merana karena perbuatan mereka sendiri. Menuruti seluruh kata hati, terkadang malah menjadi penurutan yang berujung penyesalan. Lebih baik memilih dan bersabar sehingga hati kecil kita benar-benar bisa bersuara dengan lantang.
Dan hal itu yang membuat saya tidak jadi menyesal membeli buku ini. Setidaknya selain memberi pelajaran, novel ini mengantarkan saya untuk bernostalgia dalam rentan waktu yang tidak lama. Akan diri saya yang menjebol batas cinta menjadi nafsu. Akan diri saya sendiri yang dipenuhi nafsu. Akan segudang penyesalan saya. Akan seribu rencana untuk memperbaikinya. Dan saya yang berusaha, begitu pula akan ratap doa. Tetap hanya Tuhan yang berkuasa. Memutuskan.