Mengenai Saya

Foto saya
pribadi yang melangkah sesuai panggilan harapan..untuk berubah..disini kuas ditorehkan..dioles carut marut hidup..senang dan susah..pemikiran, harapan dan sampah kekecewaan..

Senin, 15 Oktober 2012

Reformasi transportasi publik Kota Surakarta - 1

Kota Surakarta telah memulai sebuah usaha kecil dalam pembenahan transportasi publik melalui realisasi Batik Solo Trans. Tidak sedikit cibiran terhadap bis yang telah berjalan dua tahun lamanya ini. Dari segi pelayanan yang dirasa kurang maksimal, hingga penumpangnya yang terkesan minim. Pembenahan transportasi publik ini dirasa tidak jauh berbeda dengan pelayanan angkutan umum yang saat ini ada. Perkembangan sistem modern seperti bus ber AC, Highfloor, ticketing system, juga tidak membuat serta merta pertumbuhan penumpang signifikan. Selain sistem modern tersebut, penataan melalui waktu yang tepat, dan ketertiban naik-turun penumpang di halte sungguh tidak berlaku. 

Bis biru berbatik itu nyatanya masih saja ngaret. Headway yang terjadwal 15 menit, terkadang tidak teratur. Bahkan waktu perjalanan bisa memakan waktu yang lebih panjang dari pada bus pada umumnya. Perjalanan Kartasura- Palur yang dapat ditempuh dalam dua jam menjadi lebih panjang setengah jam, bahkan lebih. Tidak ada alasan yang jelas selain pada kenyataanya adalah ngaso yang begitu lama. 

Akal-akalan dalam peraturan juga menjadi fenomena dalam pembenahan transportasi Kota Surakarta. Beberapa waktu lalu, kondektur mengaku bahwa teknologi e-ticketing tidak dapat digunakan. Terlepas benar atau tidaknya, hal tersebut patut dipertanyakan. Proses keluar masuk uang seharusnya terkontrol melalui sistem tersebut. Jika terdapat pembayaran langsung kepada kondektur, tentunya penumpang patut bertanya kemanakah larinya? Kas atau 'kantong'?

Kilas Balik

Cibiran tersebut tentunya jauh harap dari titik mulanya. Awal mula bis Batik Solo Trans ini datang berasal dari revolusi jajaran pemerintah kota terkait yang berniat membenahi transportasi Kota Surakarta. Sejumlah 15 bis didatangkan dari kementrian berstatus bantuan untuk pemerintah kota. Gayung bersambut pada Po. DAMRI yang akhirnya mau bekerjasama untuk menjalankan bis bantuan tersebut. Kerjasama dalam jangka waktu sepuluh tahun ini mengalami kerugian pada awal perjalanannya.

Kerugian tersebut tentunya dianggap wajar sebagai langkah awal dalam pembenahan transportasi Kota Surakarta. Beberapa sistem modern dibentuk untuk mendukung pembenahan transportasi publik ini. Banyaknya masyarakat yang beralih dari kendaraan pribadi menuju angkutan umum merupakan target capai pemerintah Kota Surakarta. 

Sebagai bis 'istimewa', banyak masyarakat menduga akan terjadi konflik antara bis 'istimewa' ini dengan bis yang sudah ada. Namun hal tersebut tidak langsung ditemui di lapangan. Hanya saja beberapa kondektur dari bis eksisting mengeluhkan bis Batik Solo Trans yang berjalan tidak sesuai dengan standar operasional yang berlaku. Salah satunya adalah menurunkan dan menaikkan penumpang tidak di Halte. Tentu saja, status yang ter'istimewa'kan ini memancing iri para pengusaha lain.

Seiring berjalannya waktu, Po. DAMRI tetap saja mengaku belum meraup keuntungan. Hal tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan? Bagaimana bisa Batik Solo Trans merugi dengan status bis yang hanya tinggal menjalankan saja? Pertanyaan ini boleh dianggap wajar mengingat, bis dari Po. lain masih berjalan dan meraup keuntungan. Sementara perbedaan kualitas bus tidak usahlah dibanding rasa, cukup sekejap mata, semua sudah tahu.

Balik Kisah

Frits Olyslagers, seorang konsultan transportasi, pernah mengatakan kepada saya bahwa pemecah permasalahan finansial dapat diselesaikan dengan tiga cara; 1. Mengurangi pelayanan, 2. Meningkatkan tarif, 3. Meningkatkan efisiensi. Banyak pengusaha bus menggunakan cara pertama dalam menjalankan usaha angkutan umum, khususnya bis. Tentunya peningkatan tarif bukan solusi melainkan membuat pelanggan lari. Sementara itu efisiensi belum menjadi cara yang diambil dalam langkah pembenahan transportasi.

Sistem modern yang diadopsi oleh Batik Solo Trans sedikit banyak sudah menerapkan teori efesiensi tersebut. Mulai dari pengaturan headway, penjadwalan bis, hingga sistem bus priority yang mengutamakan perjalanan angkutan umum. 



Minggu, 12 Agustus 2012

Berhenti menghampar asa

Ku hampar pasir pun tak akan menghilang sosokmu
Malah aku yang terhampar pada sela karang
Kering kerontang tak bergerak
Beginilah terhampar
Terkapar dalam asa yang tak kunjung usai
Urung mengurung ku hampar lautan
Agar sosokmu terbenam seiring senja
Urung mengurung ku tebar sekam kemudian kubakar
Agar sosokmu membumbung dan kembali menjadi pelangi
Asa segeralah menjumput
Kesunyian yang terbalut dalam dengki dan benci
Asa segeralah kau hapus pelangi pada wajah ini

-Sahur,13 Aug-
-berharap kemuliaan kuasa atas pinta yang tak kunjung tiba-

Kamis, 02 Agustus 2012

Perempuan Difabel; Terkukung Kuasa Stigma!


aku………. terlahir  karena ridho illahi.
aku hidup lupa atau terlupa
bukan…. ini bukan mau ku
bukan ……. ini bukan salah ku
ku juga ingin maju…. ku juga ingin pintar dan aku juga ingin trampil
walau banyak orang yang meremehkanku
walau banyak orang yang menertawakanku
tapi………….. aku akan tunjukan pada mereka.
aku bisa seperti mereka..
aku bisa berkarya ..
aku bisa berprestasi dan
aku bisa mandiri
ya…………  Allah berikanlah aku kekuatan
tuk buktikan pada mereka bahwa aku BISA….
Suci (murid  SLTP YPAC Surakarta, Difabel Tuna Daksa)

Everything has its wonders, even darkness and silence, and I learn, whatever state I may be in, therein to be content.
Helen Keller

Riuh tepuk tangan menyambut puisi yang dibacakan Suci. Suci dan teman-temannya duduk di atas kursi roda masing-masing, berkumpul, melingkar. Berbagi cerita tentang asa dan cita. Suci berharap memiliki sebuah warnet kelak. Sementara Tari bercita menjadi seorang penulis terkenal. Dan Hanik berharap memiliki sebuah butik batik. Puisi Suci seolah mewakili harapan mereka untuk membuktikan kepada seluruh masyarakat bahwa dengan keterbatasan yang mereka miliki pun mampu untuk mewujudkan cita-cita. Sayang sebagai perempuan difabel, mereka belum paham jika di sekeliling mereka berdiri kokoh tembok diskriminasi.
Purwanti (31), aktivis difabel berkenaan penyaluran bantuan kursi roda di Cilacap mengungkapkan, “Perempuan difabel mengalami Triple diskriminasi. Dia terdiskriminasi sebagai perempuan, sebagai difabel, dan terdiskriminasi karena mereka miskin. Akhirnya perempuan difabel tidak hanya diduakan tetapi menjadi nomor sekian di mata masyarakat" Perempuan difabel tergolek tak berdaya diantara persoalan feminisme, dan difabel. Tembok diskriminasi mengurung kebebasannya sebagai perempuan. Statusnya sebagai difabel semakin memperburuk keadaan.
Isu persamaan gender tampaknya tak berdampak signifikan terhadap posisi perempuan. Perempuan tetap terkurung dalam keterbatasan untuk berekspresi, berkarya, dan berkarier dalam masyarakat. Perempuan cenderung menjadi korban dalam beberapa kasus seperti: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan, perdagangan manusia hingga prostitusi. Stereotip klasik tentang perempuan masih berkutat pada dapur, sumur, dan kasur.
Mengutip pernyataan Mansour Fikh dalam buku Analisa Gender dan Transformasi Sosial (2007:7-24) mengatakan bahwa hal tersebut mengindikasikan ketidakadilan gender. Mansour menambahkan, terdapat lima macam bentuk ketidakadilan gender, yaitu: marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja.
Pernyataan senada juga diungkapkan Purwanti.  Ia mencontohkan sebuah kasus pemberian hak asuh anak dalam perceraian di Indonesia. Pihak laki-laki sebagian besar memenangkan hak asuh anak karena dianggap lebih mampu secara finansial. “Hal tersebut mengamini stereotip negatif perempuan bahwa perempuan tidak dapat mandiri secara ekonomi,” sembari membenahi posisi duduknya di atas kursi roda.
Sudah selayaknya perempuan setara dengan lelaki dalam berbagai akses sesuai dengan kesetaraan gender. “Perjuangan di atas pola patriarki ini bergerak lamban, tapi bukan berarti tidak menghasilkan. Hanya saja belum mencapai perubahan sistem,” ujarnya lanjut. Perjuangan perempuan, bagi perempuan yang bergabung dalam Serikat Perempuan Tanpa Batas (SPTB) ini adalah perjuangan perempuan untuk diakui secara bermartabat, mendapat hak, dan kesempatan yang sama dalam masyarakat.

Perempuan = Cacat?
Banyak pihak menyangsikan kemampuan perempuan difabel dalam memenuhi kodratnya sebagai perempuan untuk mengurus rumah tangga, melahirkan, mendidik anak, dan melayani suami. “Bahkan terdapat stigma masyarakat bahwa anak yang dilahirkan dari perempuan difabel akan difabel juga. Padahal belum tentu, karena penyebab difabel belum tentu dari proses genetik,” ungkap Nurul Sa’adah (33),  Direktur Utama Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) di Yogyakarta. Difabel daksa ini membuktikan bahwa kedua putranya lahir normal meski dirinya difabel. Perempuan difabel mengalami stereotip negatif yaitu pelabelan terhadap sesuatu dengan negatif yang berujung pada ketidakadilan.
Stereotip negatif itu pernah dialami Nuning Suryatiningsih (46), Direktur Utama CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Life of people with disability). Nuning mendapat komentar negatif dari seorang ibu, lawan bicaranya di bus. “Ah, untung ya anak saya. Anak saya juga cacat kayak kamu. Untung anak saya laki-laki jadi anak saya masih punya hak untuk milih (jodoh) daripada kamu,” kenang ibu satu anak ini.
Perempuan bersuami non-difabel ini pun sempat mendapat pandangan negatif dari teman-teman suami. “Perempuan lain kan banyak, kenapa kamu memilih perempuan seperti itu,” cerita Nuning tentang pendapat teman-teman suaminya. Begitu pula komentar dari pihak orang tua suami, “Kok, kamu mencari orang yang seperti itu. Jangan-jangan nanti gak bisa punya anak. Tapi kalau mau ya silahkan, itu pilihan kamu,” tiru ibu berjilbab ini.
Perempuan difabel dipaksa hidup dalam subordinasi. Subordinasi tersebut menempatkan perempuan untuk hidup dalam kelas terendah, bahkan lebih rendah dari perempuan. Hal tersebut dirasakan Nurul Sa’adah, ketika akan menikah dengan lelaki non-difabel.  “Alah, anakku bagus-bagus kok dapet istrinya cacat. Yaudah kalau kamu ingin menikah dengan itu, misalkan kalau kamu pingin perempuan yang lain, ya tinggal nikah lagi aja,,” ungkap menguak tabir kekerasan terhadap perempuan difabel ini menceritakan subordinasi yang dilakukan mertuanya itu.Subordinasi juga terlihat di ruang kerja. Diakui oleh Nuning, bahwa dalam pekerjaan, perempuan non-difabel pun merasa lebih unggul ketimbang perempuan difabel. Subordinasi inilah yang akan menjadikan perempuan difabel termarjinalkan.
Beberapa difabel, laki-laki, juga berharap kelak pasangannya adalah non-difabel. Hal itu diperkuat pula akan komentar orang tua difabel laki-laki yang mendiskreditkan perempuan difabel seperti berikut, “Kamu sudah cacat, kok mencari yang cacat juga?”. Perempuan difabel diposisikan sebagai pilihan terakhir, bahkan diharapkan untuk tidak terpilih. Padahal mereka memiliki kemampuan yang sama dengan perempuan non-difabel meski terhalang keterbatasan. ”Berbagai stigma yang buruk berdampak keminderan perempuan difabel untuk menikah. Hal itu juga dipengaruhi, minimnya pengetahuan akan kelahiran dan kesehatan reproduksi” jawab nurul tentang dampak dari diskriminasi perempuan.

Perempuan difabel: Terabaikan!
Perempuan difabel tidak lepas pula dari cengkraman diskriminasi aksi, diskriminasi secara fisik. Perempuan difabel, khususnya tuna rungu wicara, tuna netra, dan tuna grahita, paling sering dan rentan terhadap pelecehan seksual. Keterbatasan mereka, membuat kesempatan pelecehan seksual lebih mudah terjadi. Parahnya, pelaku dari kejadian ini tidak lain adalah orang terdekat dari difabel.“Kalau tidak pembinanya, keluarganya, temannya, tetangganya, dan banyak yang tidak tuntas hukum. Penyidikan kasus pelecehan seksual tidak berperspektif difabel. Karena susah untuk mengungkap bukti, komunikasi terbatas membuat persidangan berbelit-belit,” ujar Purwanti.
“Pernah ada kasus perkosaan difabel. Tidak diketahui siapa yang menghamilinya. Lha wong kejadiannya di tempat terpencil di rumah pengasingannya. Kasus seperti ini sama sekali tidak menyentuh hukum” kisah Purwanti, tampak kesal dengan banyaknya kekerasan yang menimpa perempuan difabel.  
Perempuan difabel kurang dibekali pendidikan seks sehingga tidak dapat membentengi diri. Masyarakat beranggapan difabel adalah aseksual, tidak memiliki kebutuhan seks. Minimnya pendidikan seks membuat perempuan difabel tidak sadar bahwa mereka sedang menjadi korban pelecahan. “Bahkan pernah suatu kasus persidangan perkosaan atas tuna rungu wicara baru berakhir dan konangan pelakunya ketika korban menulis 'apakah begini yang rasanya diperkosa?', “ tambah purwanti.
Kekerasan seksual juga menimpa difabel paraplhegia (lumpuh syaraf sensorik dan motorik yang meliputi separuh badan penderita). Para penderita difabel paraplhegia umumnya adalah para korban bencana alam seperti gempa bumi. Kekerasan seksual yang menimpa difabel paraplhegia berupa pemaksaan untuk melayani kebutuhan seksual (marital rape). Padahal, kegiatan seksual memungkinkan berdampak buruk pada kesehatan kelamin difabel paraplhegia. Karena otot-otot dalam vagina sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga saat terjadi kegiatan seksual memungkinkan terjadi luka yang berujung pembusukan (infeksi).
Dalam buku, menguak tabir kekerasan terhadap perempuan difabel,( 2006: SAPDA, Nurul, dkk) banyak perempuan difabel baru yang dipulangkan kerumah orang tuanya, diceraikan, bahkan diselingkuhi. Perempuan difabel baru ini mengalami depresi berat menerima kondisi dan penolakan dari keluarganya. Akhirnya banyak perempuan difabel yang pasrah pada keadaan dan berkomentar, “..sudah perempuan, cacat lagi, mau apa lagi, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak diceraikan saja sudah bagus.”
Dikisahkan pula beberapa perempuan difabel menjadi pencari nafkah tunggal dalam keluarganya. Namun penghasilannya selalu diambil paksa oleh suaminya. Beberapa bahkan tidak dinafkahi oleh suaminya. Lebih parahnya diskriminasi ini berujung hingga perampasan properti seperti kutipan berikut, “..saya sudah tidak punya apa-apa. Orang tua, rumah, juga harta. Bantuan dari dinas sosal, SAPDA, dan warung saya diambil suami. Kalau saya mau makan mie atau anak saya mau beli bensin, saya harus bayar di warung saya sendiri..”
Diskriminasi terhadap perempuan difabel ini jarang terkuak dalam masyarakat secara luas. Selain perempuan difabel secara pribadi menutupi, keluarga pun terkadang malu untuk mengungkapkan pelecehan yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian Nurul, hanya 20%  kasus kekerasan perempuan difabel di Yogyakarta yang terungkap.

Cita dan Cinta
“Ambil kesempatan! Jangan menunggu kesempatan itu datang. Tidak akan ada yang memberi, orang lain selalu meragukan kita. Untuk itu, buktikan! Kita juga bisa!” ujar anggota KPUD Sleman Nuning Suryatiningsih. Nuning menyayangkan sikap perempuan difabel yang minder dan terperangkap oleh kuasa stigma.
Nuning telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan. Keberadaannya di KPU bahkan sudah memberi arti bagi kaum difabel. Usulannya tentang pemilu berprespektif difabel direalisasikan pemerintah dengan adanya pemilu AKSES. Sehingga difabel pun dapat menyumbangkan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus yang disertai dengan alat-alat pendukung untuk difabel.
Sedari kecil orang tua Nuning tidak pernah membedakannya dengan saudara yang lain. Perempuan  yang terkena polio sejak umur dua tahun ini selalu dimotivasi oleh ayahnya. ”Ketika kamu diejek oleh temenmu, kamu jangan takut. Buktikan kamu akan lebih pintar dari yang mengejek kamu. Tolong tunjukkan sama temanmu, kalau kamu ada kekurangan di sisi ini kamu harus mempunyai kelebihan yang lain,” kenang Ibu satu anak ini ketika ditanya mengapa dirinya begitu percaya diri.
Sama halnya dengan Purwanti. Ayah angkatnya dengan keras memaksanya untuk selalu mandiri. Bahkan ketika paman angkatnya ingin memberikan sebuah kursi roda, ayah angkatnya melarang. “Kalau dia dikasih kursi roda. Nanti dia gak mau belajar jalan,”  kenangnya.
Tidak banyak perempuan difabel yang mendapat dukungan layaknya Nuning dan Purwanti. Nurul juga menganggap bahwa persoalan utama dari difabel adalah didikan yang tidak berperspektif difabel. Keluarga yang tidak memberikan ruang sosialisasi yang cukup mengakibatkan difabel makin jauh dari masyarakat. Penyebabnya adalah perilaku abai atau perlindungan yang berlebihan terhadap difabel.
“Sebenarnya setelah dilakukan penyuluhan tentang politik dan HAM, banyak lho perempuan difabel yang kritis. Sayang hal ini tidak tergali, sehingga orang lain juga tidak banyak yang tahu.” ujar Nuning. Kemandulan pemikiran, begitu Nuning menyebutnya, merupakan dampak dijauhkannya mereka dari kemandirian, terlalu dilindungi. Nuning menunjukkan bahwa dukungan keluarga adalah sesuatu yang penting.
Hal ini mengingatkan kepada kisah Helen Keller, pionir advokat atas perjuangan hak asasi difabel. Seorang perempuan buta, bisu, dan tuli itu mendapat berbagai penghargaan berupa Presidential Medal of Freedom oleh Presiden Lyndon Johnson (1908-1972) pada tahun 1964. Juga Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, namanya diabadikan disana, Hall of Fame, New York. Dalam film Miracle worker, waltdisney, 2001, perempuan yang lulus cumlaude pada universitas Radcliffe College ini adalah sosok yang berperangai perusak. Bahkan oleh keluarganya, Helen dijuluki monster. Hingga ia bertemu Anna Sullivan, guru yang mengajarkan Helen perbendaharaan kata. Oleh karena dukungan yang begitu besarlah Anna Sullivan dijuluki miracle worker. Kisah tersebut terangkum dalam buku karangan Helen, story of my life.
Dukungan orang tua pula yang membawa Suci dan teman-temannya bersekolah di YPAC. Disana mereka bersama-sama membangun mimpi untuk membuktikan bahwa mereka bisa. Sebagai manusia, perempuan difabel pun memiliki cita yang ingin digapai. Namun tanpa dukungan dari lingkungan sekitar, cita hanyalah sekedar asa. Dukungan layaknya kunci agar perempuan difabel terlepas dari kungkungan multidiskriminasi. Sedangkan cita adalah motivasi dari dalam diri untuk membuktikan bahwa kecacatan bukanlah sebuah keterbatasan. Kepercayaan diri dan dukungan lingkungan tidak bisa dipisahkan dalam memperjuangkan persoalan perempuan difabel. Menghilangkan stigma dan memberikan dukungan adalah wujud cinta dan kasih sayang sesama agar cita mereka tidak hanya sekadar asa.(*)

Rabu, 01 Februari 2012

Demokratisasi Kelautan


Perang. Demonstrasi. Terorisme. Muncul melalui hasil olahan pemikiran manusia darat. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kuasa kepentingan pribadi. Untuk itu manusia darat kerap bersaing menancapkan kuasa kepentingannya di tempat yang paling tinggi. Saling sikut, saling menggerogoti, saling hajar. Anarki. Memudar sudah kepedulian akan sesama manusia. Pola pikir egoisme seperti ini yang dikritik oleh Radhar Panca Dahana dalam tulisannya, Manusia Maritim Indonesia (Kompas:7/12/11).
Radhar mengemukakan bahwa pencarian jalan keluar ala manusia darat kerap kali berlandaskan dengan konflik dan kekerasan. Tak urung solusi ini merenggut korban dalam prosesnya. Pemikiran manusia darat didominasi oleh tingkat kekuasaan. Penguasa yang menang. Oleh karena itu, pangkat dalam ideologi manusia darat menjadi sangat penting.
Pangkat merupakan alat untuk memperoleh keistimewaan dalam penguasaan diri. Oleh karenanya, manusia darat akan semakin terpandang ketika menyandang pangkat yang tinggi. Manusia darat acap kali melakukan hormat palsu dengan manusia darat lainnya, hanya karena perbedaan pangkat. Ideologi pangkat ini menyebabkan kemunculan pelbagai diskriminasi.
Ambil contoh saja, seorang difabel. Dalam kehidupan manusia darat kaum difabel termarjinalkan karena dianggap berbeda dan kekurangan. Manusia darat, dalam hal ini, kerap melakukan klasifikasi yang tidak adil. Manusia darat dengan kesombongannya, dalam logika pangkat, memandang ketidaksempurnaan difabel sebagai kecacatan. Diskriminasi tersebut kemudian terwujud karena manusia darat kerap mengamini opini publik yang paling dominan. Sekali lagi, dominasi amat berpengaruh pada manusia darat.
Dan itulah yang terjadi sehingga kaum difabel menjadi terpinggirkan oleh struktur sosial manusia darat.  Dominasi opini publik ini pula yang sering digunakan para penguasa, pun calon penguasa, untuk menarik hati para rakyat. Prosesnya dapat dilihat dalam kegiatan sebelum pemilu. Para calon penguasa seketika menjadi pengobral janji manis. Dalam sekejap mereka menjelma bak malaikat dengan pelbagai program ke’manusia’an. Tak urung calon-calon penguasa ini rela mempublikasikan diri bersama kedermaannya dengan biaya yang tidak sedikit.
Apapun untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Hal ini pula yang dilakukan Soeharto hingga ia bercokol menjadi penguasa selama 32 tahun di Indonesia. Pun begitu pula dengan Susilo Bambang Yudhoyono dengan program pen’citra’annya. Sehingga pengukuran keberhasilan kepemimpinan kerap kali berdasarkan sebesar apa simpati yang didapat dari masyarakatnya. Untuk itu, wajar pula, jika Aburizal Bakrie dan Surya Paloh mempromosikan dirinya melalui media televisi, pun media cetak, milik mereka sendiri.
Radhar, dalam tulisannya, mengambil contoh konflik papua yang kala itu sedang hangat dibahas. Radhar mengatakan bahwa penanganan masalah mereka selama ini oleh pemerintah justru menihilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keberadaan mereka sebagai (suku) bangsa, warga sebuah negara. Pendekatan penyelesaian dengan logika manusia darat menciptakan siklus konflik dan kekerasan yang tidak berujung. Hal ini, pikir Radhar, diciptakan melalui adab daratan yang konfliktif, dominatif, dan materialistik. Dimana penguasa haruslah menjadi pemenang.

Kembali ke ‘laut’!

Masyarakat pun lalai terlena oleh model kepemimpinan darat yang mengukung mereka untuk selalu terpusat. Kepemimpinan darat kerap menuntut keterpusatan terhadap diri sebagai tujuan. Untuk itulah mengapa pusat kota menjadi daerah yang lebih cepat berkembang daripada pinggiran.
Masyarakat terlupa bahwa mereka juga masih berturun darah dari masyarakat pinggiran. Masyarakat pesisir yang konon menjadi nenek moyang kita, seorang pelaut. Masyarakat yang kehidupannya berkembang sesuai kondisi alamiah menjadi masyarakat hybrid yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif, begitu pendapat Radhar.
Sebagai pelaut, manusia maritim lebih dekat dengan alam. Mereka pergi melaut berpetakan obrolan dengan angin dan rasi bintang. Hal itu menandakan hingga kini pun manusia maritim masih memiliki nilai kosmologis yang kuat dibanding dengan manusia darat. Hal itu juga sehubungan dengan masuknya logika nalar dari perkembangan teknologi. Secara tidak langsung, dapat dikatakan manusia maritim lebih peka dibanding dengan manusia darat.
Selain itu sifat manusia maritim yang sering melaut (berpergian) menjadikan mereka tidak gila kuasa bak manusia darat. Nalar manusia maritim terhadap ruang lebih luas dibanding manusia darat yang, melulu, terpusat pada tanah yang dipijaknya. Untuk itu manusia maritim menyajikan mode kepemimpinan yang berbeda dengan manusia darat.
Dalam buku mengapa kita (belum) cinta laut (2004), M. Ridwan Alimuddin mengisahkan perihal kepemimpinan kelautan. Ia menceritakan bahwa kepemimpinan dipilih berdasarkan kemampuan. Sebelum menjadi pemimpin, semisal punggawa kapal, maka mereka harus melewati jenjang-jenjang yang diawali menjadi juru masak atau sawi umum. Sekalipun itu keinginan dari anak seorang pemegang modal kapal nelayan. Oleh karena itu nepotisme jarang terjadi.
Alimuddin juga mengatakan bahwa sifat egaliter manusia maritim lebih unggul dari manusia darat. Kepemimpinan manusia maritim menuntut mereka keras dan cepat untuk mengambil keputusan. Hal tersebut diperlukan karena kondisi laut yang dapat berubah seketika. Namun dalam keadaan normal maka akan tercipta suasana cair dimana punggawa berdiskusi dengan sawi dalam menentukan arah. Pun terjadi pembagian tugas yang adil semisal juru mudi menggantikan pekerjaan sawi atau sebaliknya.
Manusia maritim memandang pangkat sebagai sebuah nilai penghargaan terhadap kemampuan seseorang, bukan sebuah pencapaian dari pengumpulan simpati publik. Untuk itu manusia maritim percaya terhadap kemampuan seorang pemimpin. Jika kita mendengar pelbagai cerita tentang bajak laut, maka yang terbayang dari sosok pemimpinnya adalah seorang yang pincang, pergelangan tangan yang hilang, dan mata yang ditutupi kain. Pemimpin mereka adalah sosok difabel yang oleh manusia darat dikucilkan.
Nilai adoptif dan adaptif menjadikan manusia maritim lebih mudah menjalin komunikasi daripada manusia darat. Pepatah “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” menjadi asas mereka berperilaku. Untuk itu Radhar menyarankan dalam tulisannya untuk menggunakan logika manusia maritim untuk menyelesaikan pelbagai konflik. Sehubungan dengan konflik papua diatas, Radhar mengatakan bahwa itu pula yang mereka (masyarakat papua) harapkan: diperlakukan sejajar seperti suku-suku Nusantara lainnya.
Sudah tiba saatnya mengumandangkan kembali biduan nenek moyangku seorang pelaut. Meskipun kondisinya, kini, manusia maritim termarjinalkan, namun pola kehidupan pesisir itulah yang mendidik nilai kemanusiaan mereka. Sepatutnya, manusia darat berkaca dari manusia ‘pinggiran’ terlebih dahulu sebelum mengaku sebagai manusia.


 buat workshop sinau esai sedina

Kuasa Rekayasa Engineers dalam ENGINEERS of HAPPY LAND


“…Akankah aku pernah dapat melupakan perjalanan ilahi bersamanya menuju stasiun itu?...Jangan terlampau cepat di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-bersin…” (Kartini: Engineers of Happy Land,hal.12)
Begitulah cara Kartini menganalogikan sebuah kereta api, sebuah kemajuan teknologi, dengan penuh decak kagum. Polos dan imajinatif. Kartini, dalam hal ini, mencipta rasa dari pengalaman pertamanya bertemu dengan sebuah teknologi baru. Sebuah pencicipan hasil jerih payah ilmuwan dalam mempermudah kegiatan manusia. Teknologi dapat diposisikan sebagai suatu hal yang mencelat dari nalar manusia. Alasan tersebut yang menyebabkan kenapa decak kagum selalu timbul dari pelbagai penemuan, juga inovasi, teknologi baru?
Relasi teknologi dengan banyak hal matematis menjadikan pembahasan akan sebuah teknologi kurang menarik. Acapkali masyarakat lebih menikmati manfaat dari teknologi daripada mendiskusikan teori kemunculan, teknologi tersebut, di dunia. Teori ‘kelahiran’ teknologi yang penuh dengan asumsi pembahasan matematis, bahasa yang penuh angka, rumusan yang berkelindan, kemudian bersinggungan pula dengan teori-teori finansial, sungguh, bukan sebuah bahasan yang merakyat!
Namun berbeda ketika teori ‘kelahiran’ teknologi dikisahkan melalui tutur dongeng imajinatif, reka sosialita, pola budaya masyarakat, dan alasan logis. Teknologi akan menjelma sebagai sebuah perbincangan menarik laiknya gossip. Inilah gebrakan yang dilakukan Rudolf Mrazek dalam karangannya yang berjudul Engineers of Happy Land. Dalam buku ini terlihat upaya Mrazek mencipta dunia imajinasi melalui kerangka-kerangka bahasa rakyat agar teknologi dapat menjadi sebuah perbincangan yang menarik.
Melalui analisa kritis, Mrazek mengupas ‘sisi lain’ dari teknologi. Ia berkutat dalam asal mula dan dampak sosial dari munculnya teknologi baru di Indonesia. Buku ini menarik tidak hanya karena pembahasan tentang teknologi yang merakyat saja tetapi juga dari nilai sejarahnya.
Sebagai seorang profesor sejarah di University of Michigan, ia memberikan sumbangsih baru dalam sejarah Indonesia. Ketika cerita sejarah berkutat pada arca-arca, sejarah kemerdekaan, hingga peliknya politik Indonesia, Mrazek menyuguhkan hal yang unik, remeh-temeh tapi penting. Semisal alkisah dari perkumpulan sopir Indonesia, hikayat sebuah jalan, asal mula perhotelan, kisah detektif, hingga persoalan kakus.
Sumber sejarah dinilai bagus karena didapat dari pelbagai literature seperti majalah, koran, buku, dan ungkapan tokoh-tokoh terkait baik dari belanda maupun Indonesia. Tokoh-tokoh yang sering menjadi acuan oleh Mrazek adalah H.F. Tillema, Marco Kartodikromo, R.A. Kartini, hingga Boscha dan Soekarno meski hanya sekilas. Untuk mengisahkan sejarah ‘unik’ Indonesia ini Mrazek cenderung, mengambil banyak, sumber dari Belanda.
Buku setebal 442 halaman ini terbagi menjadi lima bab. Bab pertama berjudul, Bahasa sebagai Aspal. Awal kisah bermula dari keberadaan jalan aspal disertai dengan kisah kereta api, tentang potlot (pensil), kecelakaan pertama kendaraan bermotor, lomba balap motor, hingga perhimpunan sopir.
Bab kedua bercerita tentang rumah, sebagai tempat tinggal tetap, maupun inap, sejarah perhotelan, rekayasa arsitektur, sistem pengairan termasuk kakus, hingga kemunculan teknologi AC. Bab kedua terangkum dalam judul menara-menara. Bab ketiga mengadopsi judul dari buku karangan R.A. Kartini, Dari Gelap Menuju Terang. Bermula dari tragedi Krakatau, Mrazek mengajak pembaca memasuki dunia detektif lokal, foto-foto, sidik jari, lampu sorot, cermin hingga kijker (teropong), pun begitu sejarah laboratorium Boscha di Lembang.
Bab keempat berjudul Para Pesolek Indonesia bermula dari pemaknaan boneka. Bab ini mengulas bagaimana masyarakat indo mengikuti mode pakaian dari Hindia Belanda, pun sebaliknya. Penghujung cerita diakhiri dengan ajakan Mrazek, Mari Menjadi Mekanik Radio, sebagai judul bab kelima. Tentang keampuhan model komunikasi jarak jauh melalui kabel dan kawat-kawat.
Keseluruhan bab diceritakan dengan alur yang sering menabrak dan lambat. Bak pintu ajaib, pembaca dibimbing dari info satu ke info lain dengan cepat. Berbanding terbalik dengan alur baca yang lambat. Hal itu dilatarbelakangi karena Mrazek lebih nyaman mengisahkan buku ini melalui gaya bahasa Ceko daripada gaya bahasa Inggris.
Secara kesuluruhan buku ini menarik, patut untuk dibaca, termasuk oleh masyarakat teknik. Buku ini memberikan sebuah pandangan dari sisi sosial yang sering luput dalam perencanaan sebuah teknologi. Kuasa Engineer, dalam buku ini adalah belanda, dapat diambil sebagai sebuah percontohan. Pembaca, sebagai masyarakat teknik, harus dapat memilah penggunaan kuasanya atas teknologi dengan baik atau buruk melalui percontohan tersebut.
Kelemahan buku ini terletak dalam bahasa. Untuk masyarakat teknik, bahasa yang digunakan mungkin akan lebih susah dicerna. Kebiasaan memandangi pelbagai hal matematis bisa jadi salah satu penyebabnya. Namun sangat sayang buku sebagus ini tidak dibaca. Apakah masyarakat teknik mau menjadikan kuasa engineernya untuk sebuah permainan yang akhirnya menimbulkan korban bak tragedi jembatan kutai tempo lalu?

dimuat dalam makalah portal

Merekonstruksi Insan Pers Mahasiswa


Pergulatan pers mahasiswa (persma) sebagai sebuah lembaga terletak pada buramnya identitas persma dan insan persma. Sebagai pewarta di menara gading, pers mahasiswa tengah menghadapi ketidakjelasan ke arah mana lembaga persma akan bermuara. Pers mahasiswa masih meraba-raba jalan. Hal ini terlihat pada dua opini teman pers mahasiswa, Daryono dan Priyadi dua minggu yang lalu di rubrik Mimbar Mahasiswa ini.
Daryono berpendapat bahwa pers mahasiswa perlu mengikuti arus pers umum. Sementara itu, Priyadi menanggapi dengan memberikan pandangan bahwa seharusnya insan pers mendermakan dirinya untuk memerdekakan pers mahasiswa dengan kerja intelektualitas. Kedua pendapat ini mengusahakan bentuk ideal dari laku persma. Artinya, hingga kini tidak terumuskan bagaimana bentuk ideal dari pers mahasiswa, dengan kata lain, pers mahasiswa buta identitas eksistensialinya.
Konteks krisis identitas yang dialami persma menjadi kompleks ketika bertumpuk dengan krisis lainnya. Dimulai dari krisis pembaca, krisis nalar kritis, krisis kegiatan, krisis keuangan, dan parahnya krisis tulisan! Kedua opini di atas hanya mengungkap sekelumit dari krisis yang terjadi dalam tubuh persma.
Impian Daryono menjadikan pers mahasiswa mengikuti pers umum berlatar belakang kesuksesan sejarah persma yang terlalu muluk jika dipraktikkan saat ini.  Latar belakang sejarah kesuksesan persma yang disebut Priyadi sebagai, keberanian untuk keluar dari ‘tempurung’, disebabkan pers mahasiswa adalah sebuah ‘alat’ pergerakan mahasiswa. Hal ini sebenarnya sudah disadari seperti dikatakan Jacob Oetama, “Saya bisa mengerti mengapa Koran kampus di negeri kita cenderung mempersoalkan masalah-masalah umum. Itulah tradisi mahasiswa Indonesia sejak zaman pergerakan” (A.E Siregar, 1983:3).
A.E. Siregar (1983:5) juga mengutip ungkapan penyesalan Nono Anwar Makarim sehubungan kejayaan pers mahasiswa, “Kita telah masuk dalam kancah persaingan bebas dengan pers umum secara terbuka. Kita bisa bertahan, betapa pedihnya kemudian ketika setelah menyadari urgensi dari profesionalisme ini, hati nurani kita terganggu karena kita mengakui di dalam sudut terpencil, bahwa sebenarnya kita bukan mahasiswa lagi?”
Memformat ulang
Selain itu pergerakan pers umum di kala itu dinilai kurang berani, sehingga wajar jika pers mahasiswa mengambil peran ‘kosong’ tersebut. Sama halnya ketika pergerakan pers umum di kekang oleh rezim orde baru, pers mahasiswa mengambil alih peran. Namun dengan menjamurnya media umum dan terjaminnya kebebasan pers, sepatutnya pers mahasiswa mereformat kelembagaannya.
Tidak sedikit pers mahasiswa lebih menjalankan fungsi organisasi dari pada fungsi idealismenya. Bahkan idealisme dibiarkan membusuk, ditinggal pergi. Nalar kritis mengabur, tumpul. Kebutaan ini menyebabkan tidak jelasnya kegiatan pers mahasiswa.
Titik berat permasalahan terletak pada insan pers sebagai pelaku. Insan pers sebagai motor dari lembaga pers mahasiswa tidak berjalan dengan baik. Konteks permasalahan pers mahasiswa yang dituturkan oleh Priyadi dan Daryono sebelumnya cenderung pada permasalahan organisasi. Semisal keterbatasan dana, kepentingan antar struktur bidang, hingga kaderisasi.
Jika menilik sejarah, pers mahasiswa terlahir dari idealisme para pemuda. Media cetak dipilih untuk menyalurkan aspirasi mereka. Seperti halnya terbitan Hindia Poetra (1916), oleh Indiesch Vergining, kelak menjadi Perhimpunan Indonesia, perkumpulan pemuda pelajar di Belanda. Terbitan organisasi anti-kolonial ini bertujuan melakukan pengumpulan ‘bekal’ untuk berjuang demi Indonesia (Akira Nagazumi, 1986:133-153). Media literasi dinilai ampuh untuk menyuarakan aspirasi.
Media muncul dari kelembagaan yang sudah lahir terlebih dahulu sehingga media memiliki identitas yang jelas. Kejelasan tersebut lahir dari dasar idealisme pengguna. Itu pula yang dilakukan Soe Hok Gie dalam tulisan-tulisannya. Gie berjuang dengan tulisan, namun Gie bukanlah penggiat pers mahasiswa. Gagasan Gie adalah ruh dari tulisan yang dibuatnya. Pun begitu terhadap hasil terbitan pers mahasiswa, idealisme adalah ruhnya. Tapi, saat ini, malang, nasib pers mahasiswa tidak memiliki idealisme. Hidup segan, mati tak mau.
Kembali ke akar
A.N Abrar (1992:7) menyatakan tujuan pers mahasiswa adalah merefleksitas realitas yang ada di lingkungan mahasiswa. Peran pers mahasiswa selain sebagai informator, berperan pula sebagai kontrol sosial dalam masyarakat, khususnya civitas akademika. Jauhnya pers mahasiswa dari realita sosial menyebabkan pers mahasiswa kehilangan gaung.
Laku organisasi cenderung menyebabkan penggiat pers mahasiswa amnesia terhadap tujuan awal pers mahasiswa didirikan. Layaknya pers umum, kegiatan pers mahasiswa juga tidak lepas dari kepentingan redaksional dan kepentingan perusahaan yang kerap bentrok.
Menyedihkan, mendengar keterbatasan dana menjadi penghalang. Di tengah maraknya media, pers mahasiswa tetap dapat menjalankan fungsinya meski minim dana. Media maya cukup membantu untuk itu. Namun keterbatasan dana jelas menghambat kegiatan organisasi.
Selain itu, bentuk kaderisasi yang tidak mumpuni menyebabkan kesadaran bermedia pers mahasiswa semakin memudar. Kaderisasi kerap berkutat pada bentuk pelatihan jurnalistik dan laku organisasi. Jauh dari pengayaan pemikiran yang menunjang idealisme pers mahasiswa. Minimnya wawasan, kurangnya membaca, hingga orientasi penggiat pers mahasiswa terhadap study, membunuh laku pers mahasiswa dari dalam.
Sungguh miris, jika penggiat pers mahasiswa mendermakan diri untuk kelembagaan yang menghalangi kemerdekaan pers mahasiswa itu sendiri. Pendermaan tak bertuan. Ada, tidaknya keberadaan pers mahasiswa bukanlah suatu yang penting. Pers mahasiswa menjadi penting karena idealisme itu hidup dan diperjuangkan.

Nama: Titis Efrindu Bawono
Universitas: Jurusan Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret
Aktivitas:Pemimpin Perusahaan LPM KENTINGAN UNS