Mengenai Saya

Foto saya
pribadi yang melangkah sesuai panggilan harapan..untuk berubah..disini kuas ditorehkan..dioles carut marut hidup..senang dan susah..pemikiran, harapan dan sampah kekecewaan..

Selasa, 01 November 2011

Wayang..oh..Wayang!


Pertunjukkan wayang dengan lakon ramayana telah berakhir, seiring dengan kokokkan terakhir ayam menyambut fajar. Pertunjukkan ini mengiringi sebuah hajat pernikahan. Selalu begitu, di tanah Jawa ini. Nanggep wayang, atau menyuguhkan pertunjukkan wayang di dalam suatu hajat tertentu, menjadi sebuah syarat untuk keberhasilan dan doa akan sesuatu yang baik dari hajat yang dilakukan. Hajat itu berupa pernikahan, sunatan, aqiqahan, berbagai bentuk syukuran, dan bancaan.
Wayang, yang memiliki makna sebagai bayangan yang bergerak ini telah dinikmati oleh bangsa Indonesia semenjak tahun 1135-an masehi. Bermula di tanah kerajaan Kediri, pada masa raja Jayabaya berkuasa. Pada saat itu raja Jayabaya ingin mengambarkan wajah para leluhurnya dengan lukisan pada daun rontal, meniru wajah para dewa maupun manusia purba (purwa) sehinga karya raja Jayabaya itu kemudian disebut wayang purwa. Menurut Dr. hazeu, cerita tentang wayang sudah ada sejak zaman raja Erlangga di Kahuripan permulaan abad ke sebelas, karena pada masa Erlangga tersebut sudah ada ahli sastra kepercayaan raja Erlangga yakni Mpu Kanwa yang menulis kitab Arjuna Wiwaha. Isi dari kitab Arjuna Wiwaha antara lain menceritakan Arjuna ketika bertapa di dalam goa Witaraga sebagai brahmana dengan nama Ciptaning.
Cerita yang diangkat di dunia perwayangan adalah hasil akulturasi budaya, cerita Mahabharata, Ramayana, dan epik-epik dari negeri India dengan kondisi politik kerajaan, masyarakat pada zaman tersebut. Sehingga dapat ditemukan perbedaan antara cerita Mahabharata di India dengan di Indonesia. Salah satu hal yang paling kentara adalah munculnya tokoh punakawan. Punakawan berasal dari kata “pono” dan “kawan”. Pono itu artinya mengetahui semua yang ada dengan sangat rinci diibaratkan seperti halnya bila sedang bercermin maka muka akan terlihat dengan jelas apa adanya dari kerut-kerut muka sampai dengan lobang pori kulit yang terkecil sekalipun serta kotoran yang melekat, sedangkan kawan artinya teman dekat atau rekan atau sahabat yang akan memberikan obat bila sedang mengalami sakit atau kesusahan, mencarikan jalan keluar bila sedang dilanda masalah.
Hal tersebut yang membuat wayang itu memiliki ruh nya sendiri sebagai budaya Indonesia. Ruh nya adalah filsafat hidup yang terkandung didalamnya. Dalam setiap adegan, tokoh-tokohnya, penyajian cerita dan seluruh elemen wayang, mengandung filsafat hidup. Contohnya saja Kaki semar yang merupakan pengejawantahan dari Sang Hyang Ismoyo yang diturunkan ke bumi. Rambut kuncungnya menunjukkan sifatnya sebagai pemberi peringatan kepada putro wayah, cucu-cucu manusia, agar dia selalu terus memberi peringatan tanpa mengenal zaman.
Filosofi tersebutpun hidup di dunia jawa yang sering disebut, kejawen. Kejawen, memiliki arti kebudayaan jawa namun sering disalahartikan bahwa kejawen merupakan sebuah agama, kepercayaan baru yang nyata-nyata sangat berbeda. Berbeda karena dalam budaya jawa, segala tindakan, perilaku, dan perbuatan merupakan sebuah simbolisasi yang ingin disampaikan secara tidak langsung kepada masyarakat. Simbolisasi budaya tersebut seharusnya tidak diserap mentah-mentah oleh masyarakat. Yang berujung pada kekeliruan dan munculnya asumsi bahwa kejawen  adalah agama baru! Simbolisasi ini dibuat agar manusia-manusia jawa dapat berpikir, dan terus berpikir, bukan hanya menikmati yang berujung budaya konsumtif yang telah melanda pada generasi baru ini.
Wayang yang dalam perkembangannnya juga dibawa oleh Sunan kalijaga pun memiliki nilai-nilai agamis. Selain filosofi hidup yang baik yang sudah terkandung didalamnya. Sayangnya simbolisasi ini tidak pernah terbaca oleh masyarakat. Masyarakat hanya menerima warisan budaya dari zaman lampau, tanpa mau mempelajari hakikat dan makna yang terkandung didalamnya. Kesalahan inilah yang harus digarisbawahi. Betapa miskinnya literasi dan minat belajar rakyat jawa menghadapi simbolisasi yang lama-kelamaan akan menghilang dari budayanya. Ruhnya lama-lama akan tergerus waktu, moksa. Sehingga tanpa disadari bangsa ini akan kehilangan identitasnya sebagai pemilik budaya. Dan wayang, nasibnya tidak akan lebih dari menjadi pertunjukkan seni dan boneka belaka. Keputusan yang tepat adalah mengambil kesempatan untuk menggali dan mengolah simbolisasi budaya yang sudah menjadi hakikat dan harapan orang-orang terdahulu untuk diwariskan dan dilestarikan kebudayaan yang bernilai filosofis ini. Tujuannya agar manusia hidup dalam kedamaian, begitu harapan nenek moyang terhadap cucunya. Begitu pula kita, sudah seharusnya memiliki modal yang kelak akan wariskan terhadap anak cucu kita. Jangan hanya sebagai penikmat budaya, tanpa mengerti maknanya. Secara tidak langsung, kita sebagai manusia hanya mengkonsumsi budaya sendiri belum sampai taraf melestarikan dan menyelamatkanntya.
Titis Efrindu Bawono
(Mahasiswa pemerhati budaya)

KOTAK PANDORA PERPARKIRAN SURAKARTA


Oleh : Titis Efrindu Bawono
Surveyor Potensi Parkir Lelang Surakarta 2011dari pihak akademisi
(pasal 3;3 perda no. 6 th 2004 & pasal 7;7 perda no. 7 th. 2004)

UPTD Perpakiran Surakarta tertimpa isu buruk tentang nepotisme. Diduga terjadi praktik ‘kancaisme’ dalam pelelangan pengelolaan parkir. Dari 213 titik parkir yang ada di Surakarta hanya 10 titik yang benar-benar dilelang. Sisanya dilakukan penunjukkan langsung kepada pengelola. Parahnya, terdapat satu pengelola yang memiliki lahan parkir lebih dari tiga titik dengan nama yang berbeda-beda. Hal ini melanggar perda no. 6 th. 2004 pasal 3 (2f) tentang sistem penunjukkan langsung. Isu kian menggelora ketika pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan lahan parkir di Surakarta berpotensi menembus angka 17 miliar rupiah. Terpaut jauh dengan target yang dicanangkan yaitu sebesar 2,3 miliar rupiah. Kepentingan politik diduga bersemayam dalam kasus perparkiran ini.
Tentunya praktik penunjukkan langsung tanpa adanya lelang tidak dibenarkan. Apalagi kepemilikan lahan parkir lebih dari tiga titik. Praktik ini terjadi melalui berbagai kemungkinan. Pertama, ‘kancaisme’ tumbuh subur sesuai dugaan banyak kalangan. Kedua, terjadi penunggangan kepentingan politik. Dampaknya, terjadi kemudahan memenangkan lelang dan memiliki banyak titik parkir. Ketiga, hal ini dimaksudkan untuk mencegah pengelola yang tidak bertanggung jawab akan pengelolaan parkir. Kasus ketiga, kerap terjadi pengelola tidak mampu melaksanakan tugas dan telat membayar setoran wajib (Solopos,3/6/11). Keempat, penunjukkan langsung terjadi karena potensi titik parkir tidak mencapai batas minimum 20 juta (penjelasan pasal 3(2f) & 4 perda no.6 th. 2004). Namun selain praktik penunjukkan langsung, masih banyak praktik ganjil yang terjadi dalam perparkiran.
Masalah perparkiran menjadi isu menarik untuk masyarakat karena hampir setiap orang di Solo pasti akan berurusan dengan parkir setiap hari. Lalu berbagai kritik menghujam UPTD Perparkiran. Padahal lakon dari ‘permainan’ ini tidak hanya satu golongan. Pengelola, Juru Parkir, bahkan masyarakat, dan pemerintah ikut bermain dalam kasus ini. Semuanya berujung pada uang. Masyarakat mengerat juru parkir, juru parkir mengerat masyarakat, pengelola mengerat juru parkir, UPTD Perparkiran mengerat pengelola, dan pemerintah kota mengerat UPTD Perparkiran!
Membuka kotak pandora
Asal-muasal kekacauan ini adalah perda perparkiran Surakarta. Keganjilan-keganjilan perda yang dijadikan dasar kebijakan perparkiran ini menghasilkan berbagai praktik yang ganjil pula. Keganjilan pertama terlihat dari banyaknya sistem penunjukkan langsung. Menurut penjelasan pasal 3(2f) perda no. 6 th. 2004, telah terjadi pertentangan. Tertulis dalam penjelasan no. 1 bahwa penunjukkan langsung boleh dilakukan jika nilai potensi parkir kurang dari 20 juta. Sedangkan penjelasan selanjutnya mengemukakan lokasi penunjukkan maksimal tiga titik parkir. Kemudian bagaimana jika terjadi adanya lebih dari tiga titik parkir yang memiliki nilai potensi parkir di bawah 20 juta? Apakah pelelangan tetap akan dilakukan? Tidak termaktub aturan lebih lanjut yang menjelaskan hal tersebut.
Hal itu mengundang pelanggaran terhadap penjelasan no. 4 bahwa penunjukkan hanya dua kali untuk pengelola dan tempat yang sama. Untuk mengelabui perda dilakukan praktik penipuan dengan pemakaian ktp orang lain (Solopos;10/10/11). Selain itu kelemahan tersebut juga dimanfaatkan oleh pengelola dan juru parkir. Juru parkir dan pengelola dapat saja memberikan informasi palsu saat survey potensi pelelangan dilakukan. Sehingga potensi pelelangan menjadi rendah di bawah 20 juta dan peluang penunjukkan langsung pun terbuka lebar.
Lebih parah lagi jika membahas perda no. 6 th. 2004 pasal 8, 9, 11 perihal retribusi yang terangkum dalam hak dan kewajiban pengelola, petugas parkir, dan pengguna jasa parkir. Tertulis bahwa pengelola mendapatkan 20% dari potensi pendapatan parkir, petugas parkir 25%, kepada walikota sebesar 40% dan sisanya 15 % untuk jaminan sosial dan hak lainnya.
Praktik di lapangan jauh berbeda, bermacam-macam setoran bergentayang. Tiap harinya juru parkir harus menyetorkan hasil pendapatan yang telah dipatok oleh pengelola. Belum lagi setoran untuk warga sekitar, atau warung yang diikuti. Bahkan ada pula juru parkir yang dituntut untuk membantu biaya kontrak bangunan warung tersebut.
Penarikan tersebut tidak sesuai dengan persentase di dalam perda. Penarikan setoran untuk warga sekitar bahkan lebih besar dari nilai setoran pengelola. Kejamnya, bahkan ketika musim hujan tiba, tarikan setoran tetap berlaku meski aktivitas menurun dan pemasukan parkir juga menurun. Angka 15%  untuk jaminan sosial dan hak lainnya pun tidak pernah diberikan juru parkir terutama saat terjadi kecelakaan.
Dengan begitu pengelola parkir telah melanggar pasal 11 ayat e, f dan h tentang kesejahteraan petugas parkir. Selain jaminan sosial yang tidak diberikan dan penarikan retribusi di luar aturan persentase, pengelola juga bersalah karena tidak memberikan seragam beserta kelengkapaannya. Salah satu petugas parkir di satu titik survey mengemukakan bahwa seragam dan karcis dibeli menggunakan uang pribadi. Ia menambahkan pula berani membayar setoran lebih jika terdapat jaminan asuransi.
Tutup aib
Minimnya kesejahteraan juru parkir pun berimbas kepada pengguna jasa parkir. Pengguna jasa parkir kerap kali tidak mendapatkan haknya untuk mendapat pelayanan berupa keamanan (pasal 12). Petugas parkir angkat tangan akan kehilangan atau kerusakan kendaraan maupun fasilitasnya. Padahal jika menilik penjelasan pasal 10d bahwa terdapat jaminan pertanggung jawaban atas kehilangan atau kendaraan setinggi-tingginya 5 juta rupiah.
Penarikan setoran yang tak lazim pun kerap menjadi keluhan pengguna jasa parkir. Hal itu yang membuat pengguna jasa parkir melanggar pasal 13, membayar retribusi parkir. Hal ini pula yang kerap dikeluhkan petugas parkir. Banyak pengguna jasa parkir enggan membayar retribusi parkir. Selain itu tidak sedikit petugas parkir yang memasuki lanjut usia, dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai petugas parkir dengan baik. Sehingga pemasukan pun tidak maksimal.
Banyaknya pelanggaran ditengarai karena minimnya kontrol dalam perda perparkiran. Bahkan perda perparkiran muncul dalam dua perda yaitu perda no. 6 dan 7 th. 2004. Perda no. 6 th. 2004 merupakan pembaharuan dari perda no. 7 th. 2001 tentang perubahan atas peraturan daerah tentang retribusi parkir di tepi jalan umum. Sedangkan perda no. 7 th 2004 berisi tentang penyelenggaraan tempat khusus parkir. Kedua perda tersebut memiliki pasal dengan kebijakan yang sama terkecuali dalam angka retribusi. Tidak jelas mana perda yang dijadikan acuan oleh pemerintah kota Surakarta.
Perda perparkiran semenjak tahun 2004 belum pernah direvisi. Ketidakjelasan akan perda tersebut memunculkan kecurigaan. Jangan-jangan perda perparkiran memang sengaja dibentuk untuk membentengi praktik ganjil yang banyak terjadi?
Pemerintah kota sebaiknya menjalankan fungsinya untuk membentuk peraturan daerah yang tepat. Fungsi kontrol dalam perda perparkiran termasuk praktiknya harus lebih jelas. Sementara itu untuk semua elemen perparkiran, pengelola, petugas, dan pengguna jasa parkir termasuk dalam hal ini UPTD Perparkiran sebaiknya jangan saling menyalahkan dan beradu kebenaran. Masalah perparkiran ini harus segera diselesaikan. Jangan tunggu masyarakat Solo mengeluh, melapor, dan akhirnya mengamuk.  




Surabaya: Labirin Birahi


Berjudul Lautan, bukan karena Surabaya memiliki pantai Kenjeran. Bukan karena di Kota Surabaya terdapat PT. Pelni, pusat perkapalan Indonesia. Bukan pula karena sifat masyarakat Surabaya yang sekiranya dianggap memiliki birahi berlebih. Tetapi karena selorong gang sempit, berjejer rumah satu dengan yang lainnya, berdindingkan kaca bening seakan akuarium, yang menyajikan pemandangan indah wanita-wanita cantik dengan pakaian minimnya, menggoda.
Gang Dolli namanya. Sebuah pusat prostitusi yang besar di seluruh Indonesia. Lokalisasi ini pernah mengalahkan besarnya lokalisasi luar negeri seperti Phat Pong di Bangkok, Thailand, dan Geylang di Singapura. Dalam gang selebar enam meter ini para pekerja seks komersial menjajakan tubuhnya. Mereka memamerkan kecantikan dan kemolekan tubuh di balik kaca-kaca wisma. Cukup berjalan perlahan menyusuri gang tersebut, tengok kiri-kanan, dan tentukan pilihan anda pada wanita yang diinginkan. Mudah bukan? Bahkan lebih mudah lagi. Makelar-makelar yang ada dipinggir jalan akan memberhentikan anda dan meyakinkan bahwa wismanya memiliki stok  yang bagus. Tinggal sebutkan keinginan anda, ciri-ciri, bentuk tubuh, umur, paras wajah, seperti jin Kartubi, makelar akan berusaha mengabulkan permintaan anda.
Biaya untuk menikmati pelayanan di gang Dolli ini terbilang tejangkau, berkisar 80-150 ribu rupiah per jam.   Selain itu, jaminan kebersihan dan keamanan para pekerja seks komersial dijamin oleh mucikari. Setiap kamis minggu pertama dan minggu ketiga, para penjaja tubuh diperiksa kesehatan terkait alat vitalnya. Wajar saja gang dolli menjadi primadona Kota Surabaya. Bahkan tak ayal para pelancong menentukan gang Dolli sebagai tujuan wisatanya di kota pahlawan ini.
Gang Dolli adalah salah satu sejarah tua aktivitas prostitusi di Surabaya. Lokalisasi yang dulunya kuburan China ini sudah berdiri sejak tahun 60-an. Rumah bordil pertama di gang dolli didirikan oleh pelacur berdarah Jawa-Filipina yang memiliki nama yang sama, Dolly Khavit. Begitulah asal mula sebutan gang Dolli. Pada zaman tersebut lokalisasi di Surabaya tidak hanya di gang Dolli saja, terdapat lima lokalisasi berbeda yang cukup besar, yaitu; lokalisasi Jarak, lokalisasi Moroseneng, lokalisasi Bangunsari, lokalisasi Klemir, dan lokalisasi Klakah Rejo. Namun nama gang Dolli lebih membumbung tinggi dari yang lain hingga saat ini. Bisa dibilang gang Dolli adalah lambang prostitusi di Surabaya bahkan di Indonesia.
Keremangan kota
Membicarakan Indonesia dan prostitusi, dapat ditemukan fakta bahwa tiap kota memiliki lokalisasi. Contohnya saja; Yogyakarta yang terkenal dengan Pasar Kembangnya, Surakarta dengan belakang RRI-nya, atau Semarang dengan Sunan Kuningnya. Praktik prostitusi semacam ini, tanpa disadari adalah sebuah elemen pembentuk sebuah kota.
Terlepas dari kontroversinya yang selalu bergaung di antara pelanggan dan orang-orang beriman. Lokalisasi adalah salah satu ikon hiburan, terselubung, yang ada di setiap kota. Perihal lokalisasi ini tidak luput dari pengetahuan masyarakat secara umum. Akan tetapi tidak ada tindakan lebih lanjut dari masyarakat, selaku masyarakat umum dan pelaku, untuk berhenti atau menghentikan proses ini. Jikapun ada, hal ini tidak hanya berdampak pada berhentinya praktik seks komersial untuk sementara waktu. Kemudian beberapa waktu akan muncul kembali praktik penjualan tubuh yang sama, walaupun mungkin terjadi di tempat yang berbeda. Seperti kasus di Surabaya yang terjadi pada lokalisasi Jarak yang merupakan pindahan dari lokalisasi Jangkir.
Di berbagai literatur yang saya temui, pemerintah Surabaya mengatakan bahwa komersialisasi seks ini merupakan hal yang kompleks. Kompleks karena dari sudut pandang masyarakat di gang Dolli, praktik penjajaan tubuh ini meningkatkan ekonomi pada masyarakat sekitar. Parkir, penjualan berbagai makanan dan minuman, penyewaan tempat, dan transaksi seksnya, menghasilkan putaran uang yang sangat besar. Warga yang kecipratan rejeki seperti ini sudah tentu senang. Soalnya pengunjung sudah pasti berdatangan tiap hari. Menjual sesuatu di atas rata-rata pun sudah menjadi kewajaran dan dimaklumi oleh para pengunjung. Keuntungan pun dinikmati oleh para pelanggan. Di mana posisi Surabaya yang dinobatkan sebagai kota metropolitan kedua, memiliki nilai aktivitas kerja yang tinggi.
Sebagai hiburan dan pelepas lelah, Gang Dolli menjadi salah satu alternatif yang baik. Hal ini pun mendukung teori dari menantu Karl Marx, Paul Lafrange (2004) yang membicarakan hak untuk malas dari para pekerja. Menantu Karl Marx ini mengungkapkan bahwa bekerja setiap hari akan melumpuhkan fungsi dari otak untuk berpikir dan berujung kepada penderitaan pekerja. Maka tidak salah jika para pekerja memilih seks sebagai pelepas lelahnya. Selain itu, dengan adanya fasilitas prostitusi terpusat seperti ini setidaknya mencegah  praktik prostitusi meluas di berbagai tempat di Surabaya.
Sudut pandang yang bertentangan akan ditemukan di atas kertas kuisioner. Jika ada sebuah pertanyaan baik tidak keberadaan lokalisasi Dolli? Maka banyak yang akan menjawab bahwa keberadaan lokalisasi Dolli adalah buruk dari berbagai segi. Bahkan sangat jelas ketika dipandang dari sudut agama. Dari segi pendidikan, anak-anak kecil yang tinggal di sekitar lokalisasi, pun anak-anak muda di Surabaya, dapat secara bebas berkeliaran, mengunjungi bahkan menikmati praktik haram ini.
Sungguh klise dan kuno, jika para pelaku komersialitas seks mengaku kesulitan ekonomi sebagai alasan terjun ke dunia penjajaan tubuh. Walaupun hal yang seperti itu benar-benar terjadi, bahkan lebih menyedihkan jika pelacur adalah korban dari trafficking. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan banyak yang berbeda. Para PSK tersebut mengakui menjadi pelacur karena kenikmatan birahi. Sehingga pelacuran adalah hal yang menyenangkan sekaligus menguntungkan. Jikapun tidak begitu, pelacur sendiri menikmati hasil kerjanya sebagai tuna susila.
Kompleksitas ini tidak berujung. Mulai dari kontroversi halal dan haramnya praktik pelacuran, masyarakat umum dan masyarakat di sekitar pelacuran, hingga elemen seks komersil; pekerja seks komersial, mucikari, pelanggan yang sulit melepas keuntungan dari praktik tersebut. Inilah yang menjadikan prostitusi adalah sebuah elemen pembentukan kota yang terselubung. Terselubung  karena banyak yang tidak mengharapkan keberadaannya, walaupun banyak pula yang diam-diam berharap akan keberadaaannya. Begitulah hakikat prostitusi, selalu menyimpan harapan di balik keremangan. (Opini untuk PJTLN)


BOM: MOMENTUM KERJASAMA ANTAR AGAMA


“Agama, jangan jauh dari kemanusiaan”,- Gus Dur
Dua minggu berselang dari tragedi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton Surakarta, kasus bom bunuh diri yang ke tujuh kalinya di Indonesia ini menyebabkan 1 tewas, dan 22 orang jemaat luka-luka. Pelakunya adalah Achmad Yosep Hayat, pria muda, yang diduga juga buron dalam tragedi pengeboman di masjid Ad-dzikro, Markas Polres Kota Cirebon. Hubungan ini menggambarkan keseriusan dari jaringan pelaku pengeboman bunuh diri dalam menjalankan aksinya. Umat Islam kembali menjadi sorotan. Mengingat pelaku kasus bom Bali dan lainnya menggunakan nama-nama bernafaskan islam. Meski begitu di tubuh umat Islam sendiri terjadi pro-kontra, banyak yang mengutuk ada pula yang mengangguk.
Kasus serupa terjadi di Oslo, Norwegia akhir juli lalu. Andres Berhing Brevik melakukan penembakan massal dan pengeboman yang menewaskan 76 orang. Kebenciannya terhadap umat Islam, dan negeri yang toleran kepada Islam memicunya melakukan pembunuhan. Pimpinan Dewan Gereja Sedunia (WCC) di Geneva, Swiss pun mengecam tindakan tersebut dan menyatakan bahwa Brevik telah menistakan ajaran Kristen (sumber: Kompas).
Menguatnya radikalisme dalam beragama yang memicu semakin tumbuh suburnya  pembunuhan dengan dalih agama justru menampakkan kedangkalan beragama. Agama hanya dipahami sebatas pada level teks bukan menyentuh hingga taraf konteks. Bukankah beragama itu memanusiakan manusia? Bukan justru membinasakan manusia?
Sungguh ironis jika ritual keagamaan lahir dari akar kebencian. Meski begitu pelaku akan menolak keberadaan kebencian yang menjadi tempatnya berpijak. Posisinya sebagai martir Tuhan adalah bentuk kecintaannya, kesediaan untuk mati. Kecintaan yang sombong dengan menawarkan nyawa sebagai buah cinta. Sombong karena ia memaksa orang lain untuk melakukan pergulatan cinta yang sama, menuju kematian.
Tidak tertera dalam ajaran agama manapun yang mengacuhkan nilai kemanusiaan. Idealnya hidup umat beragama adalah untuk melakukan komunikasi yang baik antara Tuhan dan makhluk Tuhan lainnya. Tuhan sebagai sebuah kepercayaan, transendental, yang hidup dalam ideologi. Dan manusia sebagai obyek praktik dari ajaran yang termaktub dalam kitab maupun terucap dalam riwayat berada dalam realitas.
Dominasi Pluralitas
Indonesia adalah tempat pertemuan berbagai agama di dunia. Bermula dari agama hindu, disusul agama budha, kemudian islam, dan Kristen, baik katolik maupun protestan. Kemudian menyusul Kong Hu Chu, seiring kedatangan masyarakat Cina ke Indonesia. Sebelumnya masyarakat Indonesia menganut paham animisme. Paham ini melekat kuat meskipun berbagai ajaran agama sudah menyebar.
Pelbagai macam agama ini secara otomatis mengotakatik sistem sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Pluralisme agama melahirkan pelbagai ragam budaya baru. Indonesia mengalami multidimensi perubahan struktur budaya. Agama berpengaruh erat melalui ajaran dan dominasinya. Dominasi dihasilkan dari proses penyebaran agama. Kepentingan ini menyebabkan berbagai benturan antar umat beragama.
Konsep penyebaran agama adalah keselamatan. Tiap umat beragama ingin menggaet masyarakat masuk agamanya sehingga mendapat keselamatan dari Sang Khalik. Umat Islam dan Kristiani mementingkan konsep ini. Niat mulia umat beragama untuk mendatangkan keselamatan ini mudah ternodai. Tercela karena hal tersebut dibumbui dengan persaingan, dan aksi saling hina antarumat beragama.
Kebenaran absolut hadir dalam ideologi masing-masing umat beragama. Penolakan keras terhadap ideologi agama lain merupakan titik nyala dari kebencian. Kemudian terwujud dalam agama yang beraliran radikal, keras, dan memaksa. Api kebencian ini berkobar hingga menimbulkan peperangan, dan perpecahan antar umat beragama. Cita agama terfokus pada dominasi masyarakat bukan lagi pada nilai agamanya.
Tragis, karena amat bertolak belakang dengan konsep awal penyebaran agama yang mementingkan keselamatan. Parahnya, paham kebencian ini kemudian menyebar melalui berbagai hasutan. Bersarang dalam ideologi, kemudian tumpah dalam berbagai aksi tidak manusiawi.
Cinta Kemanusiaan
Pluralisme agama hendaklah dinilai sebagai suatu kesatuan utuh. Kesatuan yang membentengi kemuliaan agama dari berbagai hasutan. Forum komunikasi antaragama menjadi kekuatan agar pandangan kebencian mengabur. Pemahaman keagamaan sebaiknya berdasar kepada kemuliaan ajaran antaragama. Tokoh-tokoh Agama perlu melakukan pemupukan akan kesadaran toleransi. Tujuannya tidak hanya mencapai ma’rifaat dalam nilai kosmos keagamaan saja, tetapi juga nilai kemanusiaan, memanusiakan manusia.
Seperti yang telah Tokoh Lintas Agama contohkan beberapa bulan lalu, membeberkan sejumlah kebohongan pemerintah. Sebuah teladan untuk para umat beragama dalam mengangkat perlawanan terhadap anti kemanusiaan. Tokoh Lintas Agama memposisikan diri sebagai penagih janji atas bualan pemerintah akan kesejahteraan. Sementara faktanya, rakyat tertindas karena koruptor telah mengerat nyawanya melalui kemiskinan. Rakyat sengsara oleh ulah para Jaksa mempermainkan nilai keadilan. Rakyat terperas penegak hukum yang berpihak kepada uang.
Elemen pemerintah tidak manusiawi tersebut seharusnya menjadi musuh umat beragama. Bukanlah para masyarakat sipil yang tidak bersalah menjadi korban kematian. Kasus bom bunuh diri adalah ledakan momentum peringatan. Sudah sepantasnya umat beragama saling menyatukan tujuan demi kemanusiaan. Bukan saling beradu pandang, dan menyalahkan. Bukan saling menghina, dan beradu pedang.(dimuat di SOLO POS 10 okt)






Indonesia membunuh semar!


Indonesia membunuh semar!
Masalah moral masalah akhlak-Biar kami cari sendiri-Urus saja moralmu urus saja akhlakmu-Peraturan yang sehat yang kami mau!
Tegakkan hukum setegak tegaknya-Adil dan tegas tak pandang bulu-Pasti kuangkat engkau-Menjadi manusia setengah dewa.
Iwan Fals, Manusia Setengah Dewa.
Mendengar dan menyaksikkan kenyataan bahwa moral bangsa di ambang kehancuran sungguh menyedihkan. Bahkan penggalan lirik di atas sepertinya tidak cukup menggambarkan betapa bobroknya moral bangsa ini. Mulai dari sikap pemerintah dan aparat penegak hukum yang kurang tegas, menyalahgunakan wewenang, dan korupsi, hingga para guru yang seharusnya digugu dan ditiru ikut menghiasi kebobrokan moral dengan ketidakjujuran. Masyarakat sendiri ikut tertular dari bobroknya moral pemerintah. Ketidakjujuran mewabah. Diamini oleh semua kalangan dan tanpa disadari dimaklumi. Kemudian siapa lagi yang akan mencari akar masalah moral, masalah akhlak? Siapakah ‘kami’ yang disebut Iwan Fals? Akademisikah? Alim ulamakah? Rakyat kecilkah? Siapakah ‘kami’ yang peduli?
Akar kebobrokan
Munculnya ketidakjujuran, moral yang bobrok, dan lemahnya negara merupakan faktor penyebab dari kehancuran kerajaan dan negara pada zaman lampau. Dan tidak menutup kemungkinan untuk Indonesia menambah jumlah negara yang gagal karena lemahnya mental masyarakat dan negaranya. Anak-anak pun dilibatkan dalam tragedi kehancuran mental, dididik dan diarahkan kepada pintu ketidakjujuran. Pikiran yang jernih akan mengatakan kebobrokan ini harus dihentikan. Hukum dibutuhkan untuk menangani semua ini. Namun hakikat hukum sebagai fungsi kontrol terhadap perilaku masyarakat tidak dapat ditegakkan karena ikut bobrok juga dari dalamnya. Hal ini yang menyebabkan kebobrokan itu menular. Tidak ada faktor yang mengingatkan, mengawasi, dan memberi efek jera kepada masyarakat. Ataukah nilai hukum di mata masyarakat sudah bergeser? Norma ketidakjujuran yang semula dipandang buruk menjadi baik di mata semua orang? Benar kiranya, jika pemimpin negara dianggap sebagai manusia setengah dewa kala berhasil menegakkan hukum seperti yang diharapkan.
Semar, manusia setengah dewa
Tak ubahnya raja presiden dari masa ke masa. Terpusat kekuasaan pada satu titik, pada satu manusia. Yang membedakannya hanyalah ada tidaknya punakawan yang mendampinginya. Dalam sejarah budaya pewayangan di Jawa, raja selalu didampingi oleh para punakawan yang senantiasa mengingatkan dan memberi nasihat kepada raja dalam bertindak dan memutuskan suatu kebijakan. Sesuai dengan namanya, Punakawan, yang secara bahasa diartikan menjadi teman yang mengetahui. Mengetahui yang baik dan yang buruk. Punakawan digawangi oleh Semar beserta ketiga anaknya, gareng, petruk dan bagong. Semar merupakan pengejawantahan dari seorang dewa yang diturunkan ke bumi untuk memberi nasihat kepada putro wayah nya yaitu, manusia. Mulai dari para Pandawa, hingga raja astina setelah era bharatayudha, raja Parikesit. Pun sampai saat kini semar masih memberi nasihat melalui simbolisasi dan ajaran-ajarannnya yang tersisa. Perwujudan semar sebagai seseorang romo yang bulat gemuk, berkuncung, dan bersarung kain parangkusumorojo memiliki harfiah tertentu. Walaupun Semar adalah lelaki, tapi tubuhnya yang gemuk dan berpayudara menandakan bahwa semar adalah tidak membedakan antara pria dan wanita. Kuncung rambutnya menyiratkan bahwa dirinya adalah akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Pelayan untuk manusia, berupa petuah dan nasihat-nasihat. Sedangkan kain semar Parangkusumorojo merupakan perwujudan Dewonggowantah ,untuk menuntun manusia, agar memayuhayuning bawono, mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi. Selain itu masih ada lagi ciri-ciri lain yaitu: Semar berkuncung seperti kanak kanak, namun juga berwajah sangat tua. Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa. Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok. Semar tak pernah menyuruh, namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa sosok seorang Semar adalah seorang yang adil dan rendah hati. Begitulah sosok Semar dalam punakawan, Fungsinya sebagai pemberi nasihat tidak ubahnya pula sebagai nilai hukum yang memiliki fungsi mengingatkan, menunjukkan norma-norma yang baik dan buruk.  
Semar, moksa!
Semar secara fisik sudah tidak menemani Indonesia dalam kehidupan. Nyatanya, semar hanya dongeng belaka. Walaupun menurut cerita, Semar yang telah moksa masih meninggalkan rohnya di bumi nusantara ini. Ada benarnya pula, jika semar masih hidup sampai saat ini. Begitu banyak elemen masyarakat yang berusaha mengingatkan pemerintah untuk kembali ke jalannya yang  benar. Para Mahasiswa, Para alim ulama, Para buruh, Para ahli. Bahkan contoh yang nyata adalah Siami, yang lantang menyuarakan kejujuran harus menikmati rasanya jadi warga baik yang terbuang. Lalu dimanakah tempatnya, presiden meletakkan nasihat-nasihat mereka? Dalam hati, atau hanya mampir di ujung daun telinga? Indonesia, secara tidak langsung mengatakan tidak lagi membutuhkan semar. Tidak butuh lagi nasihat. Tidak pemerintah, tidak masyarakatnya mengabaikan itu semua. Tidak lagi ada Punakawan, adanya Punalawan. Bukannya teman yang menasihati, tetapi lawan, baca: masyarakat bobrok, saling membujuk dan mengajak untuk menjadi teman. Memperbanyak dan menyebarluaskan kebobrokan. Keadilan sudah tiada. Para koruptor bebas melanglang buana, bebas kabur, mangkir dari pengadilan. Pun begitu yang telah diberi hukuman, dalam penjara, masih saja bisa melancong ke nusa dua. Beginilah gambaran pemerintah dan masyarakat yang digandrungi kuasa, harta. Rakus dan merasa penuh adigdaya.  Elemen-elemen masyarakat yang menjadi semar untuk Indonesia hanyalah sampah yang diabaikan. Jika diingat kembali, mungkin mereka manusia setengah dewa yang Indonesia cari. (dimuat di SOLO POS)