Pertunjukkan wayang dengan lakon ramayana telah berakhir, seiring dengan kokokkan terakhir ayam menyambut fajar. Pertunjukkan ini mengiringi sebuah hajat pernikahan. Selalu begitu, di tanah Jawa ini. Nanggep wayang, atau menyuguhkan pertunjukkan wayang di dalam suatu hajat tertentu, menjadi sebuah syarat untuk keberhasilan dan doa akan sesuatu yang baik dari hajat yang dilakukan. Hajat itu berupa pernikahan, sunatan, aqiqahan, berbagai bentuk syukuran, dan bancaan.
Wayang, yang memiliki makna sebagai bayangan yang bergerak ini telah dinikmati oleh bangsa Indonesia semenjak tahun 1135-an masehi. Bermula di tanah kerajaan Kediri, pada masa raja Jayabaya berkuasa. Pada saat itu raja Jayabaya ingin mengambarkan wajah para leluhurnya dengan lukisan pada daun rontal, meniru wajah para dewa maupun manusia purba (purwa) sehinga karya raja Jayabaya itu kemudian disebut wayang purwa. Menurut Dr. hazeu, cerita tentang wayang sudah ada sejak zaman raja Erlangga di Kahuripan permulaan abad ke sebelas, karena pada masa Erlangga tersebut sudah ada ahli sastra kepercayaan raja Erlangga yakni Mpu Kanwa yang menulis kitab Arjuna Wiwaha. Isi dari kitab Arjuna Wiwaha antara lain menceritakan Arjuna ketika bertapa di dalam goa Witaraga sebagai brahmana dengan nama Ciptaning.
Cerita yang diangkat di dunia perwayangan adalah hasil akulturasi budaya, cerita Mahabharata, Ramayana, dan epik-epik dari negeri India dengan kondisi politik kerajaan, masyarakat pada zaman tersebut. Sehingga dapat ditemukan perbedaan antara cerita Mahabharata di India dengan di Indonesia. Salah satu hal yang paling kentara adalah munculnya tokoh punakawan. Punakawan berasal dari kata “pono” dan “kawan”. Pono itu artinya mengetahui semua yang ada dengan sangat rinci diibaratkan seperti halnya bila sedang bercermin maka muka akan terlihat dengan jelas apa adanya dari kerut-kerut muka sampai dengan lobang pori kulit yang terkecil sekalipun serta kotoran yang melekat, sedangkan kawan artinya teman dekat atau rekan atau sahabat yang akan memberikan obat bila sedang mengalami sakit atau kesusahan, mencarikan jalan keluar bila sedang dilanda masalah.
Hal tersebut yang membuat wayang itu memiliki ruh nya sendiri sebagai budaya Indonesia. Ruh nya adalah filsafat hidup yang terkandung didalamnya. Dalam setiap adegan, tokoh-tokohnya, penyajian cerita dan seluruh elemen wayang, mengandung filsafat hidup. Contohnya saja Kaki semar yang merupakan pengejawantahan dari Sang Hyang Ismoyo yang diturunkan ke bumi. Rambut kuncungnya menunjukkan sifatnya sebagai pemberi peringatan kepada putro wayah, cucu-cucu manusia, agar dia selalu terus memberi peringatan tanpa mengenal zaman.
Filosofi tersebutpun hidup di dunia jawa yang sering disebut, kejawen. Kejawen, memiliki arti kebudayaan jawa namun sering disalahartikan bahwa kejawen merupakan sebuah agama, kepercayaan baru yang nyata-nyata sangat berbeda. Berbeda karena dalam budaya jawa, segala tindakan, perilaku, dan perbuatan merupakan sebuah simbolisasi yang ingin disampaikan secara tidak langsung kepada masyarakat. Simbolisasi budaya tersebut seharusnya tidak diserap mentah-mentah oleh masyarakat. Yang berujung pada kekeliruan dan munculnya asumsi bahwa kejawen adalah agama baru! Simbolisasi ini dibuat agar manusia-manusia jawa dapat berpikir, dan terus berpikir, bukan hanya menikmati yang berujung budaya konsumtif yang telah melanda pada generasi baru ini.
Wayang yang dalam perkembangannnya juga dibawa oleh Sunan kalijaga pun memiliki nilai-nilai agamis. Selain filosofi hidup yang baik yang sudah terkandung didalamnya. Sayangnya simbolisasi ini tidak pernah terbaca oleh masyarakat. Masyarakat hanya menerima warisan budaya dari zaman lampau, tanpa mau mempelajari hakikat dan makna yang terkandung didalamnya. Kesalahan inilah yang harus digarisbawahi. Betapa miskinnya literasi dan minat belajar rakyat jawa menghadapi simbolisasi yang lama-kelamaan akan menghilang dari budayanya. Ruhnya lama-lama akan tergerus waktu, moksa. Sehingga tanpa disadari bangsa ini akan kehilangan identitasnya sebagai pemilik budaya. Dan wayang, nasibnya tidak akan lebih dari menjadi pertunjukkan seni dan boneka belaka. Keputusan yang tepat adalah mengambil kesempatan untuk menggali dan mengolah simbolisasi budaya yang sudah menjadi hakikat dan harapan orang-orang terdahulu untuk diwariskan dan dilestarikan kebudayaan yang bernilai filosofis ini. Tujuannya agar manusia hidup dalam kedamaian, begitu harapan nenek moyang terhadap cucunya. Begitu pula kita, sudah seharusnya memiliki modal yang kelak akan wariskan terhadap anak cucu kita. Jangan hanya sebagai penikmat budaya, tanpa mengerti maknanya. Secara tidak langsung, kita sebagai manusia hanya mengkonsumsi budaya sendiri belum sampai taraf melestarikan dan menyelamatkanntya.
Titis Efrindu Bawono
(Mahasiswa pemerhati budaya)