Mengenai Saya

Foto saya
pribadi yang melangkah sesuai panggilan harapan..untuk berubah..disini kuas ditorehkan..dioles carut marut hidup..senang dan susah..pemikiran, harapan dan sampah kekecewaan..

Rabu, 01 Februari 2012

Demokratisasi Kelautan


Perang. Demonstrasi. Terorisme. Muncul melalui hasil olahan pemikiran manusia darat. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kuasa kepentingan pribadi. Untuk itu manusia darat kerap bersaing menancapkan kuasa kepentingannya di tempat yang paling tinggi. Saling sikut, saling menggerogoti, saling hajar. Anarki. Memudar sudah kepedulian akan sesama manusia. Pola pikir egoisme seperti ini yang dikritik oleh Radhar Panca Dahana dalam tulisannya, Manusia Maritim Indonesia (Kompas:7/12/11).
Radhar mengemukakan bahwa pencarian jalan keluar ala manusia darat kerap kali berlandaskan dengan konflik dan kekerasan. Tak urung solusi ini merenggut korban dalam prosesnya. Pemikiran manusia darat didominasi oleh tingkat kekuasaan. Penguasa yang menang. Oleh karena itu, pangkat dalam ideologi manusia darat menjadi sangat penting.
Pangkat merupakan alat untuk memperoleh keistimewaan dalam penguasaan diri. Oleh karenanya, manusia darat akan semakin terpandang ketika menyandang pangkat yang tinggi. Manusia darat acap kali melakukan hormat palsu dengan manusia darat lainnya, hanya karena perbedaan pangkat. Ideologi pangkat ini menyebabkan kemunculan pelbagai diskriminasi.
Ambil contoh saja, seorang difabel. Dalam kehidupan manusia darat kaum difabel termarjinalkan karena dianggap berbeda dan kekurangan. Manusia darat, dalam hal ini, kerap melakukan klasifikasi yang tidak adil. Manusia darat dengan kesombongannya, dalam logika pangkat, memandang ketidaksempurnaan difabel sebagai kecacatan. Diskriminasi tersebut kemudian terwujud karena manusia darat kerap mengamini opini publik yang paling dominan. Sekali lagi, dominasi amat berpengaruh pada manusia darat.
Dan itulah yang terjadi sehingga kaum difabel menjadi terpinggirkan oleh struktur sosial manusia darat.  Dominasi opini publik ini pula yang sering digunakan para penguasa, pun calon penguasa, untuk menarik hati para rakyat. Prosesnya dapat dilihat dalam kegiatan sebelum pemilu. Para calon penguasa seketika menjadi pengobral janji manis. Dalam sekejap mereka menjelma bak malaikat dengan pelbagai program ke’manusia’an. Tak urung calon-calon penguasa ini rela mempublikasikan diri bersama kedermaannya dengan biaya yang tidak sedikit.
Apapun untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Hal ini pula yang dilakukan Soeharto hingga ia bercokol menjadi penguasa selama 32 tahun di Indonesia. Pun begitu pula dengan Susilo Bambang Yudhoyono dengan program pen’citra’annya. Sehingga pengukuran keberhasilan kepemimpinan kerap kali berdasarkan sebesar apa simpati yang didapat dari masyarakatnya. Untuk itu, wajar pula, jika Aburizal Bakrie dan Surya Paloh mempromosikan dirinya melalui media televisi, pun media cetak, milik mereka sendiri.
Radhar, dalam tulisannya, mengambil contoh konflik papua yang kala itu sedang hangat dibahas. Radhar mengatakan bahwa penanganan masalah mereka selama ini oleh pemerintah justru menihilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keberadaan mereka sebagai (suku) bangsa, warga sebuah negara. Pendekatan penyelesaian dengan logika manusia darat menciptakan siklus konflik dan kekerasan yang tidak berujung. Hal ini, pikir Radhar, diciptakan melalui adab daratan yang konfliktif, dominatif, dan materialistik. Dimana penguasa haruslah menjadi pemenang.

Kembali ke ‘laut’!

Masyarakat pun lalai terlena oleh model kepemimpinan darat yang mengukung mereka untuk selalu terpusat. Kepemimpinan darat kerap menuntut keterpusatan terhadap diri sebagai tujuan. Untuk itulah mengapa pusat kota menjadi daerah yang lebih cepat berkembang daripada pinggiran.
Masyarakat terlupa bahwa mereka juga masih berturun darah dari masyarakat pinggiran. Masyarakat pesisir yang konon menjadi nenek moyang kita, seorang pelaut. Masyarakat yang kehidupannya berkembang sesuai kondisi alamiah menjadi masyarakat hybrid yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif, begitu pendapat Radhar.
Sebagai pelaut, manusia maritim lebih dekat dengan alam. Mereka pergi melaut berpetakan obrolan dengan angin dan rasi bintang. Hal itu menandakan hingga kini pun manusia maritim masih memiliki nilai kosmologis yang kuat dibanding dengan manusia darat. Hal itu juga sehubungan dengan masuknya logika nalar dari perkembangan teknologi. Secara tidak langsung, dapat dikatakan manusia maritim lebih peka dibanding dengan manusia darat.
Selain itu sifat manusia maritim yang sering melaut (berpergian) menjadikan mereka tidak gila kuasa bak manusia darat. Nalar manusia maritim terhadap ruang lebih luas dibanding manusia darat yang, melulu, terpusat pada tanah yang dipijaknya. Untuk itu manusia maritim menyajikan mode kepemimpinan yang berbeda dengan manusia darat.
Dalam buku mengapa kita (belum) cinta laut (2004), M. Ridwan Alimuddin mengisahkan perihal kepemimpinan kelautan. Ia menceritakan bahwa kepemimpinan dipilih berdasarkan kemampuan. Sebelum menjadi pemimpin, semisal punggawa kapal, maka mereka harus melewati jenjang-jenjang yang diawali menjadi juru masak atau sawi umum. Sekalipun itu keinginan dari anak seorang pemegang modal kapal nelayan. Oleh karena itu nepotisme jarang terjadi.
Alimuddin juga mengatakan bahwa sifat egaliter manusia maritim lebih unggul dari manusia darat. Kepemimpinan manusia maritim menuntut mereka keras dan cepat untuk mengambil keputusan. Hal tersebut diperlukan karena kondisi laut yang dapat berubah seketika. Namun dalam keadaan normal maka akan tercipta suasana cair dimana punggawa berdiskusi dengan sawi dalam menentukan arah. Pun terjadi pembagian tugas yang adil semisal juru mudi menggantikan pekerjaan sawi atau sebaliknya.
Manusia maritim memandang pangkat sebagai sebuah nilai penghargaan terhadap kemampuan seseorang, bukan sebuah pencapaian dari pengumpulan simpati publik. Untuk itu manusia maritim percaya terhadap kemampuan seorang pemimpin. Jika kita mendengar pelbagai cerita tentang bajak laut, maka yang terbayang dari sosok pemimpinnya adalah seorang yang pincang, pergelangan tangan yang hilang, dan mata yang ditutupi kain. Pemimpin mereka adalah sosok difabel yang oleh manusia darat dikucilkan.
Nilai adoptif dan adaptif menjadikan manusia maritim lebih mudah menjalin komunikasi daripada manusia darat. Pepatah “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” menjadi asas mereka berperilaku. Untuk itu Radhar menyarankan dalam tulisannya untuk menggunakan logika manusia maritim untuk menyelesaikan pelbagai konflik. Sehubungan dengan konflik papua diatas, Radhar mengatakan bahwa itu pula yang mereka (masyarakat papua) harapkan: diperlakukan sejajar seperti suku-suku Nusantara lainnya.
Sudah tiba saatnya mengumandangkan kembali biduan nenek moyangku seorang pelaut. Meskipun kondisinya, kini, manusia maritim termarjinalkan, namun pola kehidupan pesisir itulah yang mendidik nilai kemanusiaan mereka. Sepatutnya, manusia darat berkaca dari manusia ‘pinggiran’ terlebih dahulu sebelum mengaku sebagai manusia.


 buat workshop sinau esai sedina

Kuasa Rekayasa Engineers dalam ENGINEERS of HAPPY LAND


“…Akankah aku pernah dapat melupakan perjalanan ilahi bersamanya menuju stasiun itu?...Jangan terlampau cepat di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-bersin…” (Kartini: Engineers of Happy Land,hal.12)
Begitulah cara Kartini menganalogikan sebuah kereta api, sebuah kemajuan teknologi, dengan penuh decak kagum. Polos dan imajinatif. Kartini, dalam hal ini, mencipta rasa dari pengalaman pertamanya bertemu dengan sebuah teknologi baru. Sebuah pencicipan hasil jerih payah ilmuwan dalam mempermudah kegiatan manusia. Teknologi dapat diposisikan sebagai suatu hal yang mencelat dari nalar manusia. Alasan tersebut yang menyebabkan kenapa decak kagum selalu timbul dari pelbagai penemuan, juga inovasi, teknologi baru?
Relasi teknologi dengan banyak hal matematis menjadikan pembahasan akan sebuah teknologi kurang menarik. Acapkali masyarakat lebih menikmati manfaat dari teknologi daripada mendiskusikan teori kemunculan, teknologi tersebut, di dunia. Teori ‘kelahiran’ teknologi yang penuh dengan asumsi pembahasan matematis, bahasa yang penuh angka, rumusan yang berkelindan, kemudian bersinggungan pula dengan teori-teori finansial, sungguh, bukan sebuah bahasan yang merakyat!
Namun berbeda ketika teori ‘kelahiran’ teknologi dikisahkan melalui tutur dongeng imajinatif, reka sosialita, pola budaya masyarakat, dan alasan logis. Teknologi akan menjelma sebagai sebuah perbincangan menarik laiknya gossip. Inilah gebrakan yang dilakukan Rudolf Mrazek dalam karangannya yang berjudul Engineers of Happy Land. Dalam buku ini terlihat upaya Mrazek mencipta dunia imajinasi melalui kerangka-kerangka bahasa rakyat agar teknologi dapat menjadi sebuah perbincangan yang menarik.
Melalui analisa kritis, Mrazek mengupas ‘sisi lain’ dari teknologi. Ia berkutat dalam asal mula dan dampak sosial dari munculnya teknologi baru di Indonesia. Buku ini menarik tidak hanya karena pembahasan tentang teknologi yang merakyat saja tetapi juga dari nilai sejarahnya.
Sebagai seorang profesor sejarah di University of Michigan, ia memberikan sumbangsih baru dalam sejarah Indonesia. Ketika cerita sejarah berkutat pada arca-arca, sejarah kemerdekaan, hingga peliknya politik Indonesia, Mrazek menyuguhkan hal yang unik, remeh-temeh tapi penting. Semisal alkisah dari perkumpulan sopir Indonesia, hikayat sebuah jalan, asal mula perhotelan, kisah detektif, hingga persoalan kakus.
Sumber sejarah dinilai bagus karena didapat dari pelbagai literature seperti majalah, koran, buku, dan ungkapan tokoh-tokoh terkait baik dari belanda maupun Indonesia. Tokoh-tokoh yang sering menjadi acuan oleh Mrazek adalah H.F. Tillema, Marco Kartodikromo, R.A. Kartini, hingga Boscha dan Soekarno meski hanya sekilas. Untuk mengisahkan sejarah ‘unik’ Indonesia ini Mrazek cenderung, mengambil banyak, sumber dari Belanda.
Buku setebal 442 halaman ini terbagi menjadi lima bab. Bab pertama berjudul, Bahasa sebagai Aspal. Awal kisah bermula dari keberadaan jalan aspal disertai dengan kisah kereta api, tentang potlot (pensil), kecelakaan pertama kendaraan bermotor, lomba balap motor, hingga perhimpunan sopir.
Bab kedua bercerita tentang rumah, sebagai tempat tinggal tetap, maupun inap, sejarah perhotelan, rekayasa arsitektur, sistem pengairan termasuk kakus, hingga kemunculan teknologi AC. Bab kedua terangkum dalam judul menara-menara. Bab ketiga mengadopsi judul dari buku karangan R.A. Kartini, Dari Gelap Menuju Terang. Bermula dari tragedi Krakatau, Mrazek mengajak pembaca memasuki dunia detektif lokal, foto-foto, sidik jari, lampu sorot, cermin hingga kijker (teropong), pun begitu sejarah laboratorium Boscha di Lembang.
Bab keempat berjudul Para Pesolek Indonesia bermula dari pemaknaan boneka. Bab ini mengulas bagaimana masyarakat indo mengikuti mode pakaian dari Hindia Belanda, pun sebaliknya. Penghujung cerita diakhiri dengan ajakan Mrazek, Mari Menjadi Mekanik Radio, sebagai judul bab kelima. Tentang keampuhan model komunikasi jarak jauh melalui kabel dan kawat-kawat.
Keseluruhan bab diceritakan dengan alur yang sering menabrak dan lambat. Bak pintu ajaib, pembaca dibimbing dari info satu ke info lain dengan cepat. Berbanding terbalik dengan alur baca yang lambat. Hal itu dilatarbelakangi karena Mrazek lebih nyaman mengisahkan buku ini melalui gaya bahasa Ceko daripada gaya bahasa Inggris.
Secara kesuluruhan buku ini menarik, patut untuk dibaca, termasuk oleh masyarakat teknik. Buku ini memberikan sebuah pandangan dari sisi sosial yang sering luput dalam perencanaan sebuah teknologi. Kuasa Engineer, dalam buku ini adalah belanda, dapat diambil sebagai sebuah percontohan. Pembaca, sebagai masyarakat teknik, harus dapat memilah penggunaan kuasanya atas teknologi dengan baik atau buruk melalui percontohan tersebut.
Kelemahan buku ini terletak dalam bahasa. Untuk masyarakat teknik, bahasa yang digunakan mungkin akan lebih susah dicerna. Kebiasaan memandangi pelbagai hal matematis bisa jadi salah satu penyebabnya. Namun sangat sayang buku sebagus ini tidak dibaca. Apakah masyarakat teknik mau menjadikan kuasa engineernya untuk sebuah permainan yang akhirnya menimbulkan korban bak tragedi jembatan kutai tempo lalu?

dimuat dalam makalah portal

Merekonstruksi Insan Pers Mahasiswa


Pergulatan pers mahasiswa (persma) sebagai sebuah lembaga terletak pada buramnya identitas persma dan insan persma. Sebagai pewarta di menara gading, pers mahasiswa tengah menghadapi ketidakjelasan ke arah mana lembaga persma akan bermuara. Pers mahasiswa masih meraba-raba jalan. Hal ini terlihat pada dua opini teman pers mahasiswa, Daryono dan Priyadi dua minggu yang lalu di rubrik Mimbar Mahasiswa ini.
Daryono berpendapat bahwa pers mahasiswa perlu mengikuti arus pers umum. Sementara itu, Priyadi menanggapi dengan memberikan pandangan bahwa seharusnya insan pers mendermakan dirinya untuk memerdekakan pers mahasiswa dengan kerja intelektualitas. Kedua pendapat ini mengusahakan bentuk ideal dari laku persma. Artinya, hingga kini tidak terumuskan bagaimana bentuk ideal dari pers mahasiswa, dengan kata lain, pers mahasiswa buta identitas eksistensialinya.
Konteks krisis identitas yang dialami persma menjadi kompleks ketika bertumpuk dengan krisis lainnya. Dimulai dari krisis pembaca, krisis nalar kritis, krisis kegiatan, krisis keuangan, dan parahnya krisis tulisan! Kedua opini di atas hanya mengungkap sekelumit dari krisis yang terjadi dalam tubuh persma.
Impian Daryono menjadikan pers mahasiswa mengikuti pers umum berlatar belakang kesuksesan sejarah persma yang terlalu muluk jika dipraktikkan saat ini.  Latar belakang sejarah kesuksesan persma yang disebut Priyadi sebagai, keberanian untuk keluar dari ‘tempurung’, disebabkan pers mahasiswa adalah sebuah ‘alat’ pergerakan mahasiswa. Hal ini sebenarnya sudah disadari seperti dikatakan Jacob Oetama, “Saya bisa mengerti mengapa Koran kampus di negeri kita cenderung mempersoalkan masalah-masalah umum. Itulah tradisi mahasiswa Indonesia sejak zaman pergerakan” (A.E Siregar, 1983:3).
A.E. Siregar (1983:5) juga mengutip ungkapan penyesalan Nono Anwar Makarim sehubungan kejayaan pers mahasiswa, “Kita telah masuk dalam kancah persaingan bebas dengan pers umum secara terbuka. Kita bisa bertahan, betapa pedihnya kemudian ketika setelah menyadari urgensi dari profesionalisme ini, hati nurani kita terganggu karena kita mengakui di dalam sudut terpencil, bahwa sebenarnya kita bukan mahasiswa lagi?”
Memformat ulang
Selain itu pergerakan pers umum di kala itu dinilai kurang berani, sehingga wajar jika pers mahasiswa mengambil peran ‘kosong’ tersebut. Sama halnya ketika pergerakan pers umum di kekang oleh rezim orde baru, pers mahasiswa mengambil alih peran. Namun dengan menjamurnya media umum dan terjaminnya kebebasan pers, sepatutnya pers mahasiswa mereformat kelembagaannya.
Tidak sedikit pers mahasiswa lebih menjalankan fungsi organisasi dari pada fungsi idealismenya. Bahkan idealisme dibiarkan membusuk, ditinggal pergi. Nalar kritis mengabur, tumpul. Kebutaan ini menyebabkan tidak jelasnya kegiatan pers mahasiswa.
Titik berat permasalahan terletak pada insan pers sebagai pelaku. Insan pers sebagai motor dari lembaga pers mahasiswa tidak berjalan dengan baik. Konteks permasalahan pers mahasiswa yang dituturkan oleh Priyadi dan Daryono sebelumnya cenderung pada permasalahan organisasi. Semisal keterbatasan dana, kepentingan antar struktur bidang, hingga kaderisasi.
Jika menilik sejarah, pers mahasiswa terlahir dari idealisme para pemuda. Media cetak dipilih untuk menyalurkan aspirasi mereka. Seperti halnya terbitan Hindia Poetra (1916), oleh Indiesch Vergining, kelak menjadi Perhimpunan Indonesia, perkumpulan pemuda pelajar di Belanda. Terbitan organisasi anti-kolonial ini bertujuan melakukan pengumpulan ‘bekal’ untuk berjuang demi Indonesia (Akira Nagazumi, 1986:133-153). Media literasi dinilai ampuh untuk menyuarakan aspirasi.
Media muncul dari kelembagaan yang sudah lahir terlebih dahulu sehingga media memiliki identitas yang jelas. Kejelasan tersebut lahir dari dasar idealisme pengguna. Itu pula yang dilakukan Soe Hok Gie dalam tulisan-tulisannya. Gie berjuang dengan tulisan, namun Gie bukanlah penggiat pers mahasiswa. Gagasan Gie adalah ruh dari tulisan yang dibuatnya. Pun begitu terhadap hasil terbitan pers mahasiswa, idealisme adalah ruhnya. Tapi, saat ini, malang, nasib pers mahasiswa tidak memiliki idealisme. Hidup segan, mati tak mau.
Kembali ke akar
A.N Abrar (1992:7) menyatakan tujuan pers mahasiswa adalah merefleksitas realitas yang ada di lingkungan mahasiswa. Peran pers mahasiswa selain sebagai informator, berperan pula sebagai kontrol sosial dalam masyarakat, khususnya civitas akademika. Jauhnya pers mahasiswa dari realita sosial menyebabkan pers mahasiswa kehilangan gaung.
Laku organisasi cenderung menyebabkan penggiat pers mahasiswa amnesia terhadap tujuan awal pers mahasiswa didirikan. Layaknya pers umum, kegiatan pers mahasiswa juga tidak lepas dari kepentingan redaksional dan kepentingan perusahaan yang kerap bentrok.
Menyedihkan, mendengar keterbatasan dana menjadi penghalang. Di tengah maraknya media, pers mahasiswa tetap dapat menjalankan fungsinya meski minim dana. Media maya cukup membantu untuk itu. Namun keterbatasan dana jelas menghambat kegiatan organisasi.
Selain itu, bentuk kaderisasi yang tidak mumpuni menyebabkan kesadaran bermedia pers mahasiswa semakin memudar. Kaderisasi kerap berkutat pada bentuk pelatihan jurnalistik dan laku organisasi. Jauh dari pengayaan pemikiran yang menunjang idealisme pers mahasiswa. Minimnya wawasan, kurangnya membaca, hingga orientasi penggiat pers mahasiswa terhadap study, membunuh laku pers mahasiswa dari dalam.
Sungguh miris, jika penggiat pers mahasiswa mendermakan diri untuk kelembagaan yang menghalangi kemerdekaan pers mahasiswa itu sendiri. Pendermaan tak bertuan. Ada, tidaknya keberadaan pers mahasiswa bukanlah suatu yang penting. Pers mahasiswa menjadi penting karena idealisme itu hidup dan diperjuangkan.

Nama: Titis Efrindu Bawono
Universitas: Jurusan Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret
Aktivitas:Pemimpin Perusahaan LPM KENTINGAN UNS