Perang. Demonstrasi. Terorisme. Muncul melalui hasil olahan pemikiran manusia darat. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kuasa kepentingan pribadi. Untuk itu manusia darat kerap bersaing menancapkan kuasa kepentingannya di tempat yang paling tinggi. Saling sikut, saling menggerogoti, saling hajar. Anarki. Memudar sudah kepedulian akan sesama manusia. Pola pikir egoisme seperti ini yang dikritik oleh Radhar Panca Dahana dalam tulisannya, Manusia Maritim Indonesia (Kompas:7/12/11).
Radhar mengemukakan bahwa pencarian jalan keluar ala manusia darat kerap kali berlandaskan dengan konflik dan kekerasan. Tak urung solusi ini merenggut korban dalam prosesnya. Pemikiran manusia darat didominasi oleh tingkat kekuasaan. Penguasa yang menang. Oleh karena itu, pangkat dalam ideologi manusia darat menjadi sangat penting.
Pangkat merupakan alat untuk memperoleh keistimewaan dalam penguasaan diri. Oleh karenanya, manusia darat akan semakin terpandang ketika menyandang pangkat yang tinggi. Manusia darat acap kali melakukan hormat palsu dengan manusia darat lainnya, hanya karena perbedaan pangkat. Ideologi pangkat ini menyebabkan kemunculan pelbagai diskriminasi.
Ambil contoh saja, seorang difabel. Dalam kehidupan manusia darat kaum difabel termarjinalkan karena dianggap berbeda dan kekurangan. Manusia darat, dalam hal ini, kerap melakukan klasifikasi yang tidak adil. Manusia darat dengan kesombongannya, dalam logika pangkat, memandang ketidaksempurnaan difabel sebagai kecacatan. Diskriminasi tersebut kemudian terwujud karena manusia darat kerap mengamini opini publik yang paling dominan. Sekali lagi, dominasi amat berpengaruh pada manusia darat.
Dan itulah yang terjadi sehingga kaum difabel menjadi terpinggirkan oleh struktur sosial manusia darat. Dominasi opini publik ini pula yang sering digunakan para penguasa, pun calon penguasa, untuk menarik hati para rakyat. Prosesnya dapat dilihat dalam kegiatan sebelum pemilu. Para calon penguasa seketika menjadi pengobral janji manis. Dalam sekejap mereka menjelma bak malaikat dengan pelbagai program ke’manusia’an. Tak urung calon-calon penguasa ini rela mempublikasikan diri bersama kedermaannya dengan biaya yang tidak sedikit.
Apapun untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Hal ini pula yang dilakukan Soeharto hingga ia bercokol menjadi penguasa selama 32 tahun di Indonesia. Pun begitu pula dengan Susilo Bambang Yudhoyono dengan program pen’citra’annya. Sehingga pengukuran keberhasilan kepemimpinan kerap kali berdasarkan sebesar apa simpati yang didapat dari masyarakatnya. Untuk itu, wajar pula, jika Aburizal Bakrie dan Surya Paloh mempromosikan dirinya melalui media televisi, pun media cetak, milik mereka sendiri.
Radhar, dalam tulisannya, mengambil contoh konflik papua yang kala itu sedang hangat dibahas. Radhar mengatakan bahwa penanganan masalah mereka selama ini oleh pemerintah justru menihilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keberadaan mereka sebagai (suku) bangsa, warga sebuah negara. Pendekatan penyelesaian dengan logika manusia darat menciptakan siklus konflik dan kekerasan yang tidak berujung. Hal ini, pikir Radhar, diciptakan melalui adab daratan yang konfliktif, dominatif, dan materialistik. Dimana penguasa haruslah menjadi pemenang.
Kembali ke ‘laut’!
Masyarakat pun lalai terlena oleh model kepemimpinan darat yang mengukung mereka untuk selalu terpusat. Kepemimpinan darat kerap menuntut keterpusatan terhadap diri sebagai tujuan. Untuk itulah mengapa pusat kota menjadi daerah yang lebih cepat berkembang daripada pinggiran.
Masyarakat terlupa bahwa mereka juga masih berturun darah dari masyarakat pinggiran. Masyarakat pesisir yang konon menjadi nenek moyang kita, seorang pelaut. Masyarakat yang kehidupannya berkembang sesuai kondisi alamiah menjadi masyarakat hybrid yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif, begitu pendapat Radhar.
Sebagai pelaut, manusia maritim lebih dekat dengan alam. Mereka pergi melaut berpetakan obrolan dengan angin dan rasi bintang. Hal itu menandakan hingga kini pun manusia maritim masih memiliki nilai kosmologis yang kuat dibanding dengan manusia darat. Hal itu juga sehubungan dengan masuknya logika nalar dari perkembangan teknologi. Secara tidak langsung, dapat dikatakan manusia maritim lebih peka dibanding dengan manusia darat.
Selain itu sifat manusia maritim yang sering melaut (berpergian) menjadikan mereka tidak gila kuasa bak manusia darat. Nalar manusia maritim terhadap ruang lebih luas dibanding manusia darat yang, melulu, terpusat pada tanah yang dipijaknya. Untuk itu manusia maritim menyajikan mode kepemimpinan yang berbeda dengan manusia darat.
Dalam buku mengapa kita (belum) cinta laut (2004), M. Ridwan Alimuddin mengisahkan perihal kepemimpinan kelautan. Ia menceritakan bahwa kepemimpinan dipilih berdasarkan kemampuan. Sebelum menjadi pemimpin, semisal punggawa kapal, maka mereka harus melewati jenjang-jenjang yang diawali menjadi juru masak atau sawi umum. Sekalipun itu keinginan dari anak seorang pemegang modal kapal nelayan. Oleh karena itu nepotisme jarang terjadi.
Alimuddin juga mengatakan bahwa sifat egaliter manusia maritim lebih unggul dari manusia darat. Kepemimpinan manusia maritim menuntut mereka keras dan cepat untuk mengambil keputusan. Hal tersebut diperlukan karena kondisi laut yang dapat berubah seketika. Namun dalam keadaan normal maka akan tercipta suasana cair dimana punggawa berdiskusi dengan sawi dalam menentukan arah. Pun terjadi pembagian tugas yang adil semisal juru mudi menggantikan pekerjaan sawi atau sebaliknya.
Manusia maritim memandang pangkat sebagai sebuah nilai penghargaan terhadap kemampuan seseorang, bukan sebuah pencapaian dari pengumpulan simpati publik. Untuk itu manusia maritim percaya terhadap kemampuan seorang pemimpin. Jika kita mendengar pelbagai cerita tentang bajak laut, maka yang terbayang dari sosok pemimpinnya adalah seorang yang pincang, pergelangan tangan yang hilang, dan mata yang ditutupi kain. Pemimpin mereka adalah sosok difabel yang oleh manusia darat dikucilkan.
Nilai adoptif dan adaptif menjadikan manusia maritim lebih mudah menjalin komunikasi daripada manusia darat. Pepatah “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” menjadi asas mereka berperilaku. Untuk itu Radhar menyarankan dalam tulisannya untuk menggunakan logika manusia maritim untuk menyelesaikan pelbagai konflik. Sehubungan dengan konflik papua diatas, Radhar mengatakan bahwa itu pula yang mereka (masyarakat papua) harapkan: diperlakukan sejajar seperti suku-suku Nusantara lainnya.
Sudah tiba saatnya mengumandangkan kembali biduan nenek moyangku seorang pelaut. Meskipun kondisinya, kini, manusia maritim termarjinalkan, namun pola kehidupan pesisir itulah yang mendidik nilai kemanusiaan mereka. Sepatutnya, manusia darat berkaca dari manusia ‘pinggiran’ terlebih dahulu sebelum mengaku sebagai manusia.
buat workshop sinau esai sedina